NUNUKAN – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nunukan, Kalimantan Utara menggelar lomba debat demokrasi antar pelajar SMA sederajat se-Kabupaten Nunukan, mulai 1 – 6 November 2021.
Debat dengan tema ‘Aktualisasi pemuda dalam peningkatan kualitas demokratisasi Pemilu di Perbatasan’ ini, diikuti oleh 53 kelompok pelajar dari berbagai sekolah yang ada di Nunukan, diantaranya dari Pulau Sebatik, Seimanggaris, juga Tulin Onsoi.
Ketua Bawaslu Nunukan Mochammad Yusran mengatakan, pemilih milenial banyak berlaku pasif dan memilih golput pada Pemilu.
‘’Fenomena tersebut sebagai gambaran apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi, maka partisipasi politik cenderung aktif. Sedangkan apabila kesadaran dan kepercayaan sangat kecil maka partisipasi politik menjadi pasif dan apatis,’’ ujarnya, Selasa (2/11/2021).
Yusran mengatakan, kesadaran partisipasi politik merupakan aspek penting dalam tatanan negara demokrasi sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik yang berkelanjutan.
Generasi milenial sering dianggap tidak peduli terhadap partisipasi politik sehingga hanya sedikit dari mereka yang mau terlibat langsung dalam partai politik.
Mereka bahkan cenderung menjadi bagian orang yang tidak ikut menggunakan hak pilihnya.
‘’Milenial menjadi salah satu elemen yang berperan sebagai kontrol terhadap jalannya politik. Berdasarkan hal tersebut, peranan pendidikan politik terhadap milenial sangatlah perlu ditanamkan agar roda demokrasi dapat berkelanjutan dalam melahirkan para pemimpin bangsa Indonesia ke depan,’’ katanya lagi.
Oleh karenanya, untuk meningkatkan kesadaran politik dan nalar kritis pemuda, Bawaslu Nunukan mencoba berinovasi dengan mengadakan interaksi antar pemuda dan menampung daya kritis mereka melalui program debat.
Ada 8 mosi debat yang dibahas dalam lomba ini, yakni ;
1. Politik uang melahirkan pemimpin korup.
2. Ujaran kebencian berdampak pada rusaknya tali persaudaraan.
3. Larangan penggunaan tempat pendidikan dan tempat ibadah dalam kampanye Pemilu.
4. Pentingnya keterlibatan perempuan dalam Pemilu.
5. Dampak burum Media Sosial dalam Pemilu.
6. Pentingnya netralitas ASN dalam Pemilu.
7. Dampak buruk politisasi SARA terhadap kerukunan.
8. Dampak buruk hoaks dalam kualitas Pemilu.
Yusran menjelaskan, kaum milenial memiliki potensi yang besar bagi kekuatan politik karena jumlahnya yang banyak.
Namun, tidak bisa dibantah bahwa generasi ini kurang tertarik terlibat partisipasi dalam politik secara konvensional karena berbagai alasan.
‘’Maka dari itu Perlu adanya jalur yang lebih mudah untuk diakses supaya generasi milenial mau untuk berpartisipasi dalam perpolitikan. Contohnya seperti debat demokrasi. Mereka bisa menyuarakan keresahan dan menyuarakan protes di depan lawan debatnya,’’ lanjut Yusran.
Yusran mengajak pada pemuda milenial agar mengedepankan akal sehat dan nalar kritis dalam berdemokrasi.
Dengan tumbuhnya sifat kritis, berarti juga menumbuhkan iklim kebebasan pendapat setiap individu, termasuk di dalamnya perbedaan pendapat dan pilihan politik.
Perbedaan pendapat dan pilihan akan dilihat sebagai sebuah keniscayaan, oleh karenanya harus disikapi dengan kepala dingin dan toleransi.
‘’Kita memiliki juri dari akademisi, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Nunukan serta tenaga ahli dan jurnalis. Setiap kali selesai debat, mereka akan didamaikan dan difahamkan bahwa debat hanya berlaku di panggung tidak di kehidupan sosial,’’ tutupnya. (Dzulviqor)
