NUNUKAN – Terbatasnya kewenangan, masih menjadi kendala utama dalam melakukan penindakan terhadap aksi pembabatan lahan mangrove, seperti yang terjadi di RT. 08 Desa Binusan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Hal itu ditegaskan oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan Nunukan, (UPT KPH) Roy Leonard saat dikonfirmasi Rabu, (2/2/2022).
Roy menuturkan, ruang gerak Dinas Kehutanan sangat terbatas, akibat dari kewenangan yang “dikebiri”.
Alhasil, perusakan kawasan hutan atau tanaman yang dilindungi terus terjadi di Kabupaten Nunukan.
‘’Masalah kewenangan masih kabur sementara KPH diberi tugas wilayah kawasan hutan. Boleh melarang, tapi secara hitam di atas putih tidak bisa. Bukan artinya cuci tangan, tapi ini permasalan komplek dan butuh penanganan komprehensif dari banyak pihak,’’ujar Roy.
Dia memastikan, pembabatan mangrove yang disorot oleh LSM Pancasila Jiwaku, berada di lahan dengan status Areal Penggunaan Lain (APL).
Sehingga, kewenangan lebih tertuju pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH), namun bisa jadi berbenturan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kaltara.
‘’Butuh kolaborasi dengan banyak pihak, kalau sendiri kami tidak kuat dan tentu akan berbenturan kewenangannya dengan Dinas Kelautan dan Perikanan. Jadi lebih pada koordinasi dan sinergi semua pihak, termasuk instansi keamanan. Kita juga akan segera koordinasi dengan Sekda membahas masalah ini,’’ kata Roy.
Sementara itu, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) pada DLH Nunukan, Emanuel Payong Sabon, juga mengaku tidak berdaya atas kondisi yang terjadi.
‘’Kembali kepada kewenangan yang dikebiri. Kita tidak bisa bertindak tanpa dasar hukum yang jelas, yang ada nanti malah disalahkan,’’ katanya.
Ia berharap para aktivis lingkungan di Nunukan dapat melaporkan peristiwa tersebut sebagai dasar laporan dan penindakan.
‘’Kita bergerak kalau ada laporan dari masyarakat. Kalau tidak ada, untuk pemetaan dan peninjauan bahkan kami tidak bisa, jadi benar benar lumpuh kami,’’ katanya.(Dzulviqor)