NUNUKAN, KALIMANTAN UTARA – Puluhan warga Nunukan Barat, Nunukan, Kalimantan Utara, mendatangi Gedung DPRD Nunukan pada Selasa (24/6/2025) kemarin.
Mereka memprotes tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terutang lima tahun dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda).
Warga bingung, sebab tak pernah mengetahui objek pajak atau menerima sertifikat lahannya—seolah membayar pajak untuk lahan gaib tak berwujud.
Kebingungan Sertifikat dan Lahan Plasma Mengemuka
Syahdan, Wakil Ketua Dewan Majelis Adat Dayak Tidung, menyuarakan kejanggalan ini.
“Sertifikatnya saja kita tidak pernah lihat, kok bisa tiba-tiba kami dikirimi tagihan PBB, malah tertulis terutang lima tahun,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Nunukan, Andi Mariyati, dan Ketua Komisi 2, Andi Fajrul Syam.
Ia menambahkan, warga tidak pernah menerima hasil plasma, namun tiba-tiba tagihan pajak datang.
Informasi pembagian lahan plasma 2.169 hektar yang dikelola PT Palm Segar Lestari (PSL) memang beredar pada 2013, bahkan 1.169 sertifikat atas nama warga Nunukan Barat terbit pada 2019.
Namun, hanya sebagian kecil warga yang menerima tagihan PBB tersebut.
Bapenda dan DKPP Beri Klarifikasi
Fitraeni, Kepala Bapenda Nunukan, menjelaskan bahwa Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB terbit berdasarkan data dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Nunukan.
Dari 1.169 sertifikat yang ada, Bapenda hanya menerbitkan 690 tagihan PBB karena terbatasnya KTP, alas hak, dan nomor alas hak yang diserahkan.
“Kalau untuk terutang 5 tahun, itu sesuai tahun terbit. SPPT PBB terbit pada 2019, dan sesuai Perbup pasal 58 ayat 4, untuk pajak terutang diterbitkan 5 tahun sesuai tahun terbit sertifikat,” jelas Fitraeni.
Muhtar, Kepala DKPP Nunukan, meluruskan bahwa 1.169 sertifikat untuk warga Nunukan Barat bukan sertifikat lahan plasma, melainkan sertifikat tanah redistribusi.
Sertifikat ini kini berada di tangan manajemen lama PT PSL dan sulit diakses setelah perusahaan berganti pemilik pada 2024.
“Kalau sertifikat tanah redistribusi tidak akan mungkin dijaminkan karena ada stempel pajak terutang. Beda sertifikat plasma itu bisa.” tegas Muhtar.
Ia juga mengungkap adanya nama ganda dalam daftar penerima sertifikat.
Solusi dan Komitmen PT PSL
Muhtar menyebutkan, RDP ini membahas dua masalah utama, yakni masalah plasma dan sertifikat redistribusi.
Ia berharap masyarakat memahami perbedaan status kedua jenis sertifikat tersebut.
Andik Arling, Direktur PT PSL, menjelaskan manajemen baru (Kayan Grup) baru mengakuisisi perusahaan pada 2024 dan kini sedang berbenah.
“Kita masih fokus membenahi lahan inti sebelum beralih ke plasma. Beri kami waktu untuk perbaikan, dan selanjutnya kita akan bertemu dengan pihak koperasi untuk membahas hal yang berkenaan hak dan kewajiban perusahaan,” kata Andik.
Wakil Ketua DPRD Nunukan, Andi Mariyati, mendesak PT PSL segera mendirikan kantor di Nunukan.
“Saran saya, perusahaan harus ada kantor di Nunukan. Ini untuk memudahkan penyelesaian konflik dan demi harmonisasi masyarakat dan perusahaan,” tegasnya.
Empat Poin Penting dari Kesimpulan RDP
Rapat menyimpulkan empat poin penting:
1. Manajemen baru PT PSL akan menindaklanjuti pembayaran PBB dan BPHTB Plasma.
2. PBB lahan Redistribusi akan dikomunikasikan bersama manajemen PT PSL lama dan baru, serta pemilik SHM, difasilitasi DPRD dan pihak terkait.
3. PT PSL dan Koperasi Produsen Plasma Tanjung Harapan akan segera membahas MoU pengelolaan dan pola distribusi plasma.
4. PT PSL akan berkoordinasi dengan lembaga adat dan perwakilan pemilik SHM KKPA untuk verifikasi keaslian sertifikat selambat-lambatnya Juli 2025. (Dzulviqor)
