Penulis: Hendrawan R. Wijaya
Kecanduan pada kekuasaan adalah hal lumrah bagi seorang pemimpin. Namun kecanduan yang tidak menimbulkan imajinasi pada rakyat adalah kecanduan seorang pemimpin medioker.
Apakah normal dalam sistem perpolitikan daerah kita, apabila kekuasaan (kepala pemerintahan) diteruskan oleh ayah, anak, atau kerabat famili terdekat?
Berhembus kabar, kontestasi Pemilukada 2024 akan dimeriahkan “lagi” oleh famili terkait. Bagaimanapun keras kepalanya kita menolak, fakta politik yang berlangsung di Nunukan mengindikasikan hal demikian.
Menjadi pemimpin haruslah cerdas, sebab kekuasaan membutuhkan kecerdasan bukan hubungan famili, agar arah peradaban dalam satu periode dapat terbayangkan sedini mungkin.
Dalam kamus politik, fakta tersebut kita beri judul politik dinasti.
Politik dinasti adalah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait hubungan famili, misalnya seorang ayah mewariskan tahtanya kepada anaknya.
Sistem seperti ini lazim digunakan oleh negara yang menganut sebuah sistem kerningratan (kerajaan). Dari situlah kita berangkat bahwa politik dinasti adalah kemewahan tradisi dari raja-raja, bukan bupati apalagi presiden.
Runtuhnya Orde Baru ditandai dengan diruntuhkannya rezim otoriter Presiden Soeharto pada 1998. Fenomena ini acap dimaknai sebagai masa transisi.
Transisi artinya bergegas meninggalkan sekaligus siap sedia menuju. Menuju reformasi sebagai tanda pulihnya kritisisme.
Perjalanan meninggalkan selalu menyisahkan jejak-jejak otoritarian yang hari ini kian kasat mata, seperti telanjang bulatnya politik dinasti.
Pada suatu kesempatan, Rocky Gerung pernah berucap, “dulu itu dinasti darahnya biru, yang sekarang darahnya kotor”.
Kita bisa menambahkan sedikit kalimat dalam ucapan tadi, selain darahnya kotor, darahnya juga mungkin tinggi.
Menurut Djoni Gunanto (2020: 180-181) politik dinasti di aras lokal tumbuh sumbur. Hal ini Berdasarkan pada riset yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), bahwa pada 2010 termasuk menjadi sorotan utama karena terdapat beberapa kepala daerah yang terpilih dan berstatus sebagai kerabat kepala daerah sebelumnya:
Bupati Kendal, Widya kandi Susanti (istri Bupati Kendal, Hendy Boedoro); Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari, anak kandung mantan Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani HR; Bupati Lampung Selatan, Rycko Mendoza, putra Gubernur Lampung, Sjachruddin ZP; Bupati Pesawaran, Aries Sandi Dharma, anak Bupati Tulang Bawang; Bupati Tabanan, Bali, Ni Putu Eka Wiryastuti, anak Bupati sebelumnya; Bupati Kediri, Haryanti Sutrisno, merupakan istri Bupati; Walikota Cilegon, Tubagus Iman Ariyadi, merupakan anak Walikota; Bupati Batul, Yogyakarta, Sri Suryawidati, istri Bupati sebelumnya, Idham Samawi; Bupati Indramayu, Anna Sophanah, mantan istri Bupati sebelumnya. Selain itu, Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulawesi Selatan 2008-2012, mempunyai saudara-saudara yang menjadi pejabat: Ikhsan Yasin Limpo, Bupati Gowa 2005- 2010; Haris Yasin Limpo, anggota DPRD kota Makassar 2004-2009; Tenri Olle, anggota DPRD Sulawesi Selatan 2009- 2014.
Terdapat juga anak Syahrul Yasin Limpo, Indira Thita Chunda, menjadi anggota DPR 2009-2014, dan keponakannya, Adnan Purichta, menjadi anggota DPRD Sulawesi Selatan 2009-2014.
Memang secara konstitusi, tidak ada larangan legal terhadap praktik politik dinasti di Indonesia, kendati sempat menimbulkan jejak pro dan kontra.
Seperti yang termaktub dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang kerap versus dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis“.
Bila politik dinasti sudah menjadi tradisi perpolitikan hari ini, maka hal demikian merupakan pertanda mundurnya langkah demokrasi melalui beberapa gejala, seperti mekarnya monopoli politik yang dapat memudarkan heterogenitas politik yang kemudian berdampak pada hilangnya kandidat alternatif. Sehingga hanya boleh satu ada, yaitu yang itu-itu saja.
Tidak hanya itu, korupsi dan nepotisme juga diduga kuat terjadi. Sebab penguasa yang berlatar belakang dinasti tidak sungkan-sungkan cenderung memberikan preferensi kepada kerabat lainnya atau orang-orang terdekat mereka, tanpa mempertimbangkan basis kompetensi.
Hal ini dapat merusak institusi-institusi demokratis dan merugikan kepentingan masyarakat banyak.
Yang terakhir, praktik politik dinasti juga dapat menciptakan citra negatif terhadap demokrasi di mata masyarakat.
Ketika demokrasi mengandung nepotisme, korupsi, dan ketidaksetaraan, iman masyarakat terhadap proses demokratis dapat terkikis, sehingga mengancam legitimasi sistem politik secara keseluruhan.
Olehnya itu, kita patut mewaspadai politik dinasti yang menjelma kerikil dalam sepatu demokrasi.
Agar kelak langkah kaki demokrasi tak mandek. Partisipasi rakyat sangat diperlukan dalam menopang langkah ini. Melalui pendidikan politik yang menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan berpolitik di akar rumput guna mengusung kandidat alternatif baru.
Ini merupakan agenda politik kejujuran yang memerlukan pekerjaan serius—dalam Pemilukada Nunukan 2024—dari mereka yang menghendaki demokrasi yang bermutu.
