Penulis: Hendrawan R. Wijaya (Mahasiswa Universitas Hasanuddin, Makassar)
OPINI – Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presidn 2024 di Indonesia baru saja usai, kendati masih banyak kesangsian bertebaran akan hal itu.
Menurut hasil rekapitulasi nasional KPU pada Rabu (20/3/2024), PDIP berhasil memperoleh suara sebanyak 25.387.279, diikuti oleh Partai Golkar dengan perolehan suara sebesar 23.208.654, dan Partai Gerindra dengan jumlah suara mencapai 20.071.708.
Sedang di Nunukan, dilansir dalam niaga.asia.com, Partai Hanura berhasil meraih kursi terbanyak di Pemilu 2024 yakni 6 kursi, kemudian PKS 5 kursi, Partai NasDem dan Demokrat masing-masing 4 kursi, Gerindra dan PDI-P masing-masing 3 kursi, sedangkan PAN, PKB, dan PBB meraih masing-masing 1 kursi.
Pemilu usai, pilkada mulai. Berdasarkan Keputusan yang di tandatangani Ketua KPU Pusat, Hasyim Asy’ari, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak ini akan dilaksanakan, Rabu 27 November 2024 mendatang.
Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) merupakan agenda rutin setiap lima tahun di Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai upaya pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/kota secara langsung dan demokratis. Pencalonan calon Gubernur, Bupati dan Walikota tersebut dilakukan melalui jalur independen atau dituntun oleh partai politik (parpol) melalui proses rekrutmen.
Rekrutmen politik calon adalah salah satu fungsi strategis yang diberikan kepada parpol yang kemudian bertujuan untuk melakukan seleksi atau pemilihan calon yang akan ditampilkan kepada masyarakat saat pemilihan umum skala nasional dan daerah.
Menurut Pasal 29 UU No. 2 Tahun 2011 mengatur bahwa rekrutmen dilaksanakan melalui seleksi kaderisasi secara demokratis sesuai dengan AD/ART partai dengan mempertimbangkan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan yang sebetulnya masih jauh panggang dari api.
Mengutip Hasan dan Rahmat dalam (Fitriyah, 2020: 4), peran parpol untuk merekrut calon dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat melibatkan beberapa aspek penting, termasuk:
1. Persiapan kader atau calon untuk memimpin secara politik.
2. Melakukan seleksi terhadap kader atau calon yang telah dipersiapkan, dan
3. Berjuang untuk menempatkan kader atau calon berkualitas, berdedikasi, memiliki kredibilitas dan integritas yang tinggi, dan mendapat dukungan masyarakat di posisi-posisi politik akar rumput.
Ketiga aspek ini berdiri pada asas transparansi dan keterbukaan.
Namun sampai saat ini, proses perekrutan parpol di Nunukan masih tetutup, tidak transparan dan hanya hasil akhir dokumentasi yang berhamburan di media secara demokratis.
Pola rekrutmen seperti ini hanya bertujuan untuk meraih suara terbanyak dalam pemilihan, tanpa memperhatikan kualifikasi atau kompetensi calon yang diusung.
Akibatnya banyak calon yang muncul secara instan dan berkembangnya politik dinasti tidak terhindarkan, yang di mana calon seringkali berasal dari keluarga dekat petinggi partai politik atau petahana, seperti istri, anak, adik kandung, kakak, dan bahkan saudara ipar serta ibu tiri, seperti yang terjadi pada dinasti Ratu Atut di Banten.
Peran parpol dalam proses perekrutan secara terbuka calon kepala daerah sangatlah diperlukan, karena parpol tidak semata bertindak sebagai medium penjaringan calon, tetapi juga sebagai pengelola proses politik yang mendasari demokrasi aras lokal.
Jika parpol mengadakan proses rekrutmen yang tidak transparan, maka parpol tersebut turut andil merusak demokrasi. Sebab demokrasi sebagai pemilu adalah momen rakyat untuk memilih calon, bukan momen parpol mencekoki rakyat dengan sederetan nama yang tidak jelas kriteria dan asbabunnuzulnya.
