NUNUKAN – Tugu Dwikora yang berdiri gagah di tengah kota Nunukan, Kalimantan Utara, selalu memiliki cerita menarik bagi para pelaku sejarah di peristiwa konfrontasi RI – Malaysia pada tahun 1965 silam.
Salah satunya adalah cerita tentang Leginem. Wanita kelahiran Kota Tarakan 1946 tersebut, menjadi satu satunya veteran wanita di Nunukan.
Leginem tinggal di perumahan petak nomor 165 di Jalan Hasanuddin Rt 12 Nunukan Utara. Daerah ini, menjadi area satu-satunya yang memiliki nomor rumah di perbatasan RI – Malaysia ini.
Diusianya yang tak muda lagi, Leginem masih sangat bugar dan sehat, tidak seperti lansia umumnya. Ia selalu menjaga pola makan, dan sangat pemilih terhadap makanan.
‘’Saya tidak mau merepotkan kalau sakit. Saya tidak punya keluarga di Nunukan kecuali anak-anak saya. Sejak perang meletus (Konfrontasi), saya hanya tinggal di Nunukan, jadi kalaupun ada keluarga diluar Nunukan, saya kurang kenal,’’ ujarnya, Kamis (10/11/2022).
Ingatan Leginem juga masih cukup tajam. Ia bercerita, bahwa pendidikannya terhenti sampai kelas 3 di Sekolah Rakyat (SR), karena banyaknya drop pasukan dari luar Nunukan, yang menurutnya cukup menyeramkan.
Ia melihat banyak pasukan KKO yang berlaga di garis depan tempur rata-rata berjenggot dan hitam. Mereka tidak sempat merawat diri dan fokus mempertahankan NKRI dari rongrongan musuh.
‘’Sekolah anak-anak saat itu terhenti karena ‘’Hantu Laut ‘’ (sebutan KKO waktu itu). Dan gejolak perang konfrontasi yang tengah terjadi,’’ lanjutnya.
Sering menonton gejolak pertempuran dan bertekad menjadi perawat
Ia menuturkan, saat ia berusia 13 tahun, ia sering melihat serangan dari tentara Malaysia, dari dalam benteng.
Ia juga kerap berlari pulang di tengah hujan peluru yang menyerang para tentara Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL) yang merupakan cikal bakal dari Korps Marinir.
Banyak tentara terluka dengan kondisi mengenaskan yang membuatnya takut. Namun sebagai anak yang besar di tengah pertempuran, ayahnya, Gabriel Wara, selalu menguatkan mentalnya. Ayahnya juga selalu memintanya turut andil dalam perjuangan.
‘’Kami digembleng di tengah pertempuran. Saat itu yang laki laki menjadi sukarelawan, sementara yang perempuan diminta membantu perawat untuk menangani korban perang,’’ kata dia.
Usianya yang masih 13 tahun, tidak menyurutkan niatnya untuk membantu para pejuang.
Meski awalnya takut dengan darah yang berceceran dan kondisi mengenaskan pejuang akibat luka di medan perang, tekadnya dan semangat nasionalismenya menafikan kondisi tersebut.
Ketika banyak anak seusianya memilih mundur dan menolak merawat pejuang dengan tubuh tidak pernah utuh, ia justru sebaliknya.
‘’Saya melihat banyak tubuh pejuang dalam kondisi sudah tidak utuh. Banyaknya korban saat itu, membuat obat-obatan sangat kurang. Saya lebih banyak membersihkan luka dan membalutnya tanpa obat apapun. Itupun tidak ada yang mengajari. Hanya melihat perawat menangani prajurit terluka, saya langsung praktekkan,’’ tuturnya.
Tangannya tidak berhenti gemetar saat membalut luka-luka para pejuang. Jenazah mereka yang gugur, terus hilir mudik di depannya.
Kondisi jenazah yang tidak utuh, kian membuat semangatnya menyala dan bertekad bisa mengobati pejuang sebanyak banyaknya agar terus mempertahankan benteng perjuangan di garis depan.
Mengumpulkan longsong peluru dan latihan tembak menjadi hiburan
Di masa Konfrontasi RI – Malaysia, atau pertempuran yang dikenal dengan operasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora), Leginem sering membayangkan berada di masa damai.
Ia ingin bermain gobak sodor, atau ular ularan di malam purnama dengan teman-temannya.
Namun selagi masih ada rongrongan untuk kemerdekaan, ia sadar keinginannya sulit terkabul.
Di tengah kesibukannya merawat korban perang, ia juga menyempatkan diri untuk mengumpulkan selongsong peluru kosong. Ia menganggapnya sebagai hiburan.
‘’Banyak sekali saya kumpulkan bekas peluru itu, warnanya cantik macam emas. Saya anggap itu cara menghibur diri di tengah perang yang terus terjadi,’’ katanya.
Selain itu, ia juga mengoleksi granat aktif yang ia temukan di tengah medan pertempuran.
Ia berniat mengumpulkan amunisi untuk diberikan pada pasukan, menambah persediaan peluru mereka.
‘’Kita perawat ini hanya keluar saat ada sirine aman. Jadi ketika terjadi serangan, ada sirine nyaring bunyi, saat itu, kita masuk lubang dalam tanah. Ketika ada sirine aman, kita keluar dan membantu mengobati pejuang yang terluka. Saat itu kalau ada senjata yang tertinggal dari korban meninggal, saya kumpul dan saya serahkan ke tentara,’’lanjutnya.
Ada saat dimana para tentara juga memiliki hiburan tersendiri. Mereka melatih sipil, termasuk perawat untuk adu tembak.
Para sipil dilatih menggunakan sejumlah senjata, seperti AK 47 dan pistol. Lalu dipertandingkan dengan para perawat di satuan lainnya.
‘’Saya sering mendapat piagam kalau adu tembak. Meski awalnya sering terpelanting saat menembakkan AK 47 ke target sasaran, lama kelamaan terbiasa. Itu saja hiburan kami saat itu,’’ kata Leginem.
Ingin kehormatan bagi veteran
Leginem masih ingat betul peristiwa demi peristiwa di medan tempur yang ia alami. Sudah tidak terhitung berapa nyawa yang ia selamatkan, dan berapa banyak pasien yang gugur didepannya.
Ia tidak pernah sempat mendengar ucapan pasien yang sekarat karena minimnya perawat dan gentingnya kondisi saat itu.
‘’Saat itu, saya bertugas di areal benteng pertahanan di Tanah Merah, tepat di pesisir pantai yang menghadap langsung Malaysia. Hari ini, rintihan korban dan pekik perjuangan, selalu menjadi kisah yang saya ceritakan ke anak-anak saya,’’ katanya.
Ia ingin anak-anaknya menghargai sekecil apapun perjuangan pahlawan. Di masa damai seperti sekarang, sudah seharusnya para pejuang bisa mendapatkan perhatian dan apresiasi atas jasanya.
Ia ingin generasi muda khususnya di Nunukan, menghormati Taman Makam Pahlawan Jaya Sakti.
‘’Tidak banyak kalau pesan kita ke anak-anak muda. Kita memiliki taman makam pahlawan, disanalah pasien gugur yang kita rawat dimakamkan. Selalu ingat kisah perjuangannya,’’ pesannya.
Leginem mendapat SK veteran dan menerima upah bulanan sebagai veteran. Hanya saja, nama Leginem masih sering terlewatkan saat para veteran lain menerima bantuan di hari raya atau hari hari besar lainnya.
‘’Tidak masalah banyak bantuan Pemerintah Daerah lewat dan saya dilupa. Saya hanya berharap nama saya dikenang sebagai pejuang Dwikora,’’ tegasnya. (Dzulviqor)
