NUNUKAN – Konsulat Republik Indonesia (KRI) di Tawau, Malaysia, berhasil membebaskan dua pemuda WNI asal Nunukan, Kalimantan Utara, Nabil (16) dan Erjuna (18), dari sindikat perdagangan manusia/TPPO di Malaysia.
Fungsi Penerangan Sosial dan Budaya KRI Tawau, Wiryawan, mengatakan, Nabil dan Erjuna, adalah korban TPPO yang dipekerjakan di Wilayah Sapulut Malaysia.
‘’Kedua korban TPPO, sudah kita jemput pada 24 Oktober 2023, dan saat ini kita tempatkan di shelter Konsulat RI dalam kondisi sehat,’’ ujarnya, dihubungi, Kamis (2/11/2023) lalu.
Lanjut Wiryawan, saat ini kedua remaja tersebut, masih menjalani serangkaian pemeriksaan untuk mencari tau sindikat yang menjerumuskan mereka.
Terungkapnya kasus ini, berawal dari surat permohonan Polres Nunukan kepada KRI untuk membantu pencarian korban TPPO asal Nunukan, Kalimantan Utara.
‘’Polres Nunukan, memberikan nomor orang yang menguasai kedua korban. Dan mengirim koordinat tempat kedua korban dipekerjakan,’’ kata dia.
Petugas KRI kemudian menghubungi nomor orang yang diduga mandor tersebut, untuk segera membebaskan Nabil dan Erjuna.
‘’Janjinya, kedua korban akan dilepaskan di Kalabakan, tak jauh dari Balai Polis Malaysia. Petugas konsulat diminta menunggu disana,’’ imbuhnya.
Namun janji tersebut tidak dipenuhi oleh mandor yang belakangan diketahui adalah seorang perempuan berinisial D.
Saat dihubungi kembali, D mengatakan sudah membawa kedua korban ke Kampung Manggaris, di Merotai.
Saat itu, D mengatakan akan memulangkan keduanya ke Nunukan, melalui jalur ilegal. Dan setelah itu nomor ponselnya tidak dapat dihubungi.
Petugas KRI, kemudian pulang dan berkoordinasi dengan Polis Malaysia untuk membantu pencarian.
‘’Tapi keesokan harinya, pada 24 Oktober 2023, petugas kami mendapat info kalau kedua korban sudah dilepaskan, dan berada di pinggir jalan raya di Merotai. Kita kembali kirim petugas untuk penjemputan,’’ lanjutnya.
Wiryawan menegaskan, kedua korban akan segera dipulangkan ke Nunukan, setelah pengambilan keterangan usai.
‘’Kita masih membutuhkan kedua korban untuk proses penyelidikan kasus TPPO ini. Kita juga siapkan dokumen SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor). Ketika penyelidikan kami dirasa cukup, keduanya secepatnya kita pulangkan ke tanah air,’’ tegas Wiryawan.
Kronologis kasus
Tiga remaja laki laki bernama Nabil (15), Muklis (16) dan Erjuna (18), asal Nunukan, Kalimantan Utara, menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Kasat Reskrim Polres Nunukan, AKP Lusgi Simanungkalit menceritakan, mulanya, Nabil yang bingung dengan perekonomian keluarga yang kian mencekik akibat anjloknya harga rumput laut di Nunukan, mencoba mencari info lowongan kerja melalui sosial media Facebook.
Ia berkenalan dengan AS, orang yang menawarinya pekerjaan di ladang kelapa sawit, di Kecamatan Sebuku.
‘’Gaji yang ditawarkan, Rp. 5 juta perbulan, dan biaya keberangkatan ditanggung,’’ ujar Lusgi Simanungkalit, saat dikonfirmasi.
Nabil, kemudian mengabarkan lowongan pekerjaan di perkebunan kelapa sawit di Sebuku tersebut, kepada temannya, Mukhlis, dan pamannya bernama Erjuna.
Ketiganya, kemudian diminta bersiap siap, dan akan dijemput speedboat pada Jumat (13/10/2023) sekitar pukul 02.00 wita, di dermaga Pasar Baru, Nunukan.
‘’Mereka sebenarnya bingung kenapa berangkatnya dini hari. Mereka baru sadar, ternyata mereka bukan dibawa ke Sebuku, tapi diseberangkan ke Kalabakan, wilayah Malaysia,’’ imbuh Lusgi.
Lusgi menjelaskan, ada 3 orang yang melakukan perekrutan di Nunukan, masing masing AS, yang memiliki peran merekrut calon pekerja melalui media sosial.
KD, yang berperan menjadi perantara antara AS dan motoris speedboat bernama SP. Adapun SP, bertugas mengantar korbannya ke Malaysia.
‘’Di Malaysia, ketiganya diserahkan kepada mandor perempuan bernama D, yang juga WNI asal Bulukumba Sulawesi Selatan. D yang mengatur pekerjaan untuk para korban,’’ jelasnya.
Di Malaysia, ketiganya disuruh bekerja untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Mereka dipekerjakan mulai pukul 06.00 hingga pukul 18.00 wita, tanpa jeda.
Untuk makan, mereka disuruh berhutang ke warung, dan tidak jarang, mereka hanya memesan nasi putih juga air untuk bekalnya bekerja.
Beruntung, para korban masih menyimpan Hp. Ketika ada wifi, mereka menceritakan masalahnya kepada keluarganya, dan melaporkannya ke polisi.
‘’Sudah hampir dua minggu mereka disana, sampai stress mereka kecapean, dan sempat mencoba bunuh diri. Keluarganya datang ke kami, bercerita sambil nangis nangis, ibu korban malah sampai pingsan saat buat laporan,’’ kata Lusgi.
Mandor D meminta uang tebusan RM 2000 atau sekitar Rp 7 juta jika ingin para korban dipulangkan.
Uang tersebut, dihitung sebagai hutang, karena mandor D sudah membiayai dan menanggung semua akomodasi keberangkatan para korban sampai Malaysia.
Mandor D bahkan mengancam kalau tidak mau bayar, para korban akan diserahkan ke polis atau imigresen, karena mereka adalah pendatang haram, atau masuk Negara orang tanpa dokumen.
‘’Keluarga Mukhlis mau membayar dan akhirnya dilepaskan. Tapi keluarga Nabil dan Erjuna tidak mampu bayar dan meminta bantuan polisi,’’ kata Lusgi.
Polres Nunukan, kemudian bersurat ke Konsulat RI, memberitahukan dugaan TPPO yang terjadi.
Polisi juga mengirim nomor kontak mandor D, lokasi kerja korban, dan bermohon agar kasus ini segera ditindaklanjuti secepatnya.
Bersamaan dengan surat tersebut, Polres Nunukan, juga menerbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap mandor D.
‘’Korbannya sudah banyak, bukan hanya tiga pemuda itu saja. Ada juga kasus gadis yang tidak pulang pulang karena hutangnya ke mandor belum lunas. Jadi kasus ini, murni TPPO,’’ imbuhnya.
Sejauh ini, Polisi sudah mengamankan 3 tersangka pelaku TPPO, masing masing, AS, SP, dan KD.
Ketiganya, mengaku mendapat untung RM 700 atau sekitar Rp 2,5 juta setiap memberangkatkan para korbannya.
Para tersangka terancam dengan Pasal 10 jo pasal 4 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang tindak pidana pemberantasan TPPO, dengan ancaman hukuman 10 sampai 15 tahun. Dan pasal 18 Tahun 2017 tentang perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dengan ancaman hukuman antara 3 sampai 15 tahun. (Dzulviqor)
