NUNUKAN – Kemegahan bangunan Pelabuhan Internasional Tunon Taka Nunukan, menyisipkan kisah sedih bagi para pedagang asongan yang sudah puluhan tahun berdagang di areal dermaga tersebut.
Renovasi dan rehabilitasi pelabuhan Tunon Taka, tentunya memiliki sejumlah aturan baru terkait sterilisasi, yang menurut para pedagang asongan, sangat merugikan mereka.
Sebab, pedagang tersebut tidak bisa lagi menjual di dalam dermaga kedatangan kapal, dan tidak jarang mereka diusir dari area dermaga.
Suara kekecewaan tersebut, dituturkan salah satunya oleh Ani (50). Warga yang sudah puluhan tahun tinggal di Nunukan dan menggantungkan hidup dari berjualan asongan ini bercerita, bahwa dirinya sudah sejak tahun 2000 sudah melakoni profesi tersebut.
‘’Sejak dermaga pelabuhan masih kayu, saya sudah berjualan. Memang saya juga sadar, ada aturan baru ketika pelabuhan dibangun jadi megah begini. Masalahnya, dari hasil jualan inilah selama ini kami hidup dan bisa menyekolahkan anak,’’ ujar, pedagang es sirup merah ini, ditemui, Jumat (29/7).
Saat kedatangan kapal, dia selalu berusaha masuk dermaga yang selalu dijaga ketat petugas, demi untuk menjajakan dagangannya.
‘’Kucing-kucingan masuknya. Jadi saya bawa termos es ke dermaga tradisional sebelah pelabuhan besar (Tunon Taka). Jaraknya tidak sampai sepuluh menit. Berangkatnya sebelum kapal tiba di pelabuhan, dan petugas belum jaga dermaganya,’’ tuturnya.
Menjual es merah, sudah menjadi profesinya sejak anak pertamanya masih berusia setahun.
Saat itu, ia terpaksa menitipkan anak ke tetangga dan menjual es merah, tepat di depan pintu palka kapal, untuk memenuhi kebutuhan rumahnya.
‘’Tapi akhir-akhir ini, seringkali didatangi petugas disuruh pergi. Kami faham mereka punya tugas, tapi kami belum mendapat jalan usaha lain karena ini saja dikerja sejak dulu,’’ akunya.
Dari hasil jualan itulah, anak perempuan yang dulunya sering dititipkan ke tetangga, kini sudah mengenyam bangku kuliah di daerah Jawa.
‘’Kadang dagangan saya dikeluarkan dari dermaga oleh petugas. Bagaimana caranya saya bisa masuk lagi. Saya bayar Rp 10.000 untuk speedboat lewat dermaga yang tidak ada petugas, baru naik kembali. Paling petugas cuman geleng-geleng saja,’’ katanya berkelakar.
Ani juga mengakui, bangunan baru Pelabuhan Tunon Taka, menyediakan sejumlah los/lapak untuk para pedagang seperti dirinya.
Hanya saja, biaya sewa bulanannya tidak murah, dan menurut Ani, lokasinya kurang strategis, yang akan berpengaruh terhadap hasil jualannya.
‘’Mana kami sanggup bayar bulanan di los dalam pelabuhan. Mahal sewanya, kami kan cuman bawa untung sedikit. Sisanya buat biaya anak, dan kebutuhan dapur saja,’’ kata Ani. (Dzulviqor)