NUNUKAN, KN – Sepucuk surat dari Evfeazia Delama Maco, siswi kelas VI SDN 007 Nunukan, membuat siapa pun yang membacanya terisak.
Surat yang dibacakan pada Hari Anak Nasional 2025 itu adalah potret nestapa tentang bakti, kerinduan mendalam terhadap sang ibu yang telah tiada, serta tekad baja untuk menjadi dokter yang lahir dari penderitaan.
Di atas panggung peringatan Hari Anak Nasional 2025, Bunda Literasi Nunukan, Annisa Mutia Sabri, tak kuasa menahan air mata.
Surat Evfeazia—akrab disapa Dela—yang Pemda unggah di media sosial berhasil mengaduk emosi banyak orang. Surat itu menyoal realitas.
“Tapi, kata teman-temanku, aku tidak bisa jadi dokter karena Bapakku buruh tani,” tulis Dela.
“Betul Pak… aku ingin jadi dokter karena ingin menolong orang sakit yang tidak punya biaya berobat. Dan pasti Mamaku bangga melihatku.”
Penggalan surat itu adalah puncak dari sebuah kisah pilu.
Dela menceritakan masa kecilnya yang sarat liku. Ia harus berpindah-pindah tempat mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai buruh tani.
Ia iri melihat teman-temannya diantar bapaknya ke sekolah. Sementara dirinya harus berjalan kaki jauh, bahkan pernah mendorong sepeda ayahnya yang bocor.
“Aku tidak sanggup jalan kaki,” tulis Dela. “Aku tahu bapakku tidak punya kendaraan untuk mengantarku ke sekolah.”
Namun, pukulan terbesar menimpa Dela saat ia naik kelas 5. Ibunya, yang sering menderita sakit kepala akibat penyakit gondok, meninggal dunia.
Sebuah detail yang kelak menjadi alasan kuat Dela untuk berjuang.
“Aku sangat sedih, aku merasa tidak akan pernah melihat Mama lagi,” tulisnya.
Di tengah duka, ia masih mengingat pesan ibunya, “agar aku bisa menjaga adik-adikku.”
Kini, Dela dan adik-adiknya tinggal bersama sang tante, hidup serba kekurangan. Ayahnya harus bekerja di luar Nunukan demi menyambung hidup.
Kisah ini terasa nyata di jam istirahat sekolah.
“Kalau jam istirahat teman-temanku bisa belanja di kantin, dan aku hanya bisa menelan liur melihat teman-temanku makan,” ungkap Dela.
Bekal makanannya adalah ubi rebus buatan almarhumah ibunya, yang tak disukai teman-temannya.
“Ubinya aku habiskan sendiri.” Ubi rebus itulah, bekal terakhir dari mamanya, yang menjadi saksi bisu perjuangannya di sekolah.
Surat Dela mencerminkan semangat anak-anak Nunukan yang tak padam meski kesulitan menghadang.
Kisah ini seakan menjadi pengingat bahwa di balik kesederhanaan, tersimpan kekuatan besar untuk melawan takdir.
“Kami bangga atas ketulusan hati anak-anak yang luar biasa,” kata Annisa Mutia Sabri.
“Kami berharap Pemerintah Daerah Nunukan dapat terus hadir untuk mendukung anak-anak seperti Dela dalam meraih cita-citanya.” harapnya.
Kisah Evfeazia adalah kisah kita semua.
Pertanyaan tulusnya, “apakah anak sepertiku bisa jadi dokter?”, seharusnya tidak lagi teman-teman sebayanya yang menjawab, melainkan kehadiran pemerintah dan kita semua.
Lalu, mampukah Evfeazia Delama Maco meraih mimpinya? Jawabannya ada di tangan kita. (Dzulviqor)
