NUNUKAN – Kepolisian Resor Nunukan Kalimantan Utara, telah menetapkan lima orang tersangka, dari tujuh belas warga beberapa desa di kecamatan Sebuku yang dilaporkan sebagai pelaku penyerobotan dan penguasaan lahan PT.Karangjoang Hijau Lestari (KHL).
Kasat Reskrim Polres Nunukan AKP.Marhadiansyah Tofiqs Setiaji mengatakan, kasus sengketa PT.KHL dan masyarakat perlu disikapi bijaksana, sehingga ada penyelesaian secara kekeluargaan dan tidak melulu harus diselesaikan melalui jalur hukum.
‘’Istilah kasarnya jangan dikit-dikit Polisi gitu loh, ini kan ada potensi mengganggu Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), kita juga selow dalam menjalankan proses hukumnya meski ada lima orang yang sudah kita tetapkan sebagai tersangka,’’ujarnya, Kamis (4/2/2021).
Penetapan tersangka dilakukan Polisi setelah turun ke lapangan dan memastikan garis batas lahan PT.KHL melalui HGU, pengukuran GPS, serta berkoordinasi dengan Dinas Perkebunan Kabupaten Nunukan.
Dari tujuh belas warga yang dilaporkan PT.KHL, Polisi sementara ini, mendapati lima orang yang memang diduga melakukan pendudukan lahan, atas dasar penelusuran dan bukti olah lapangan yang dilakukan.
Proses mediasi juga sudah dilakukan sekitar tiga kali, namun tidak ada titik temu, sehingga proses hukum berjalan atas nama profesionalitas Polisi.
‘’Kita sangat faham kasus ini lebih baik diselesaikan di luar, tidak melalui jalur hukum, tapi sebagai petugas, kita menemukan bukti kuat, secara professional, kita harus lakukan penyelidikan, tapi jujur secara nurani, saya ingin ini disudahi saja,’’katanya lagi.
Meski penyelidikan terus berjalan, Marhadiansyah berharap Pemkab Nunukan bisa menjadi fasilitator atas kasus tersebut.
Seyogyanya, kata Marhadiansyah, pihak pemerintah baik eksekutif maupun para anggota DPRD mendamaikan kedua belah pihak melalui jalur pemerintahan, berupa Rapat Dengar Pendapat (RDP) atau jalur formal lain di luar kepolisian.
‘’Tapi bagaimanapun, Polisi harus bertindak professional, nanti kalau kita gerak lambat, dikatain Polisi berat sebelah, kalau cepet-cepet diselesaikan, dibilang Polisinya KHL, ya kita ikut aturan saja,’’tegasnya.
Dari laporan PT.KHL, sebanyak 17 warga melakukan klaim sepihak lahan dalam HGU dengan luasan kurang lebih 600 hektar dari 20.000 hektar milik PT.KHL.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 107 huruf a dan/atau Pasal 107 huruf d Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.
Atas kasus pelaporan PT. KHL terhadap warga tersebut, Direktur Yayasan Pelestari Lingkungan Hijau (PLH) Kalimantan Utara, Niko Ruru mengatakan, adalah tidak tepat membawa kasus tersebut ke ranah pidana.
Cara menyelesaikan masalah ini adalah dengan melihat akar masalah sebenarnya. Selama ini, perizinan menjadi akar persoalan konflik agraria antara PT KHL dengan masyarakat adat.
‘’Seharusnya penyelesaiannya dengan melakukan review perizinan,” ujarnya.
Dia mengatakan, Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. KHL berada di wilayah adat, tempat mereka tinggal dan bercocok tanam.
Akan berbeda kasusnya, kalau yang melakukan pencurian adalah orang dari luar desa itu.
‘’Ini kasusnya kan, mereka tinggal dan berusaha di tanahnya. Mereka sudah ada di sana sebelum negara ada,” ujarnya lagi.
Konflik perusahaan dan masyarakat selalu saja terjadi dan endingnya selalu masyarakat yang dirugikan. Mereka akan kesulitan membuktikan legalitas kepemilikan lahan mereka. Apalagi dulunya Desa Bebanas, Desa Sujau dan Desa Lulu adalah kawasan hutan.
Menurut Niko, kasus yang mulanya dilaporkan sebagai pencurian buah sawit ini harus menjadi koreksi bagi banyak pihak termasuk pihak perusahaan sendiri.
Perlu diingat, awalnya masyarakat menyambut kehadiran perusahaan dengan baik karena iming-iming kesejahteraan. Masyarakat hanya tahu ketika perusahaan datang, mereka akan sejahtera, karena bisa mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan.
‘’Tetapi yang saya tahu, sejak awal, masyarakat tidak pernah bersepakat bahwa dengan kehadiran perusahaan, mereka harus meninggalkan tanah mereka,”lanjutnya.
Perusahaan seharusnya instropeksi diri, sudah sejauh mana kewajibannya dijalankan, sesuai dengan RKL dan RPL saat Amdal?, sudah sejauh mana realisasi janji perusahaan meningkatkan perekonomian masyarakat, membuka lapangan kerja, memberdayakan ekonomi, memberikan pelatihan, dan peningkatan kapasitas?
Niko juga mengaku heran karena konflik masih terjadi. Padahal, Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) yang dilakukan pemerintah daerah mensyaratkan penyelesaian konflik-konflik atas tanah di perusahaan perkebunan kelapa sawit.
“Penilaian usaha perkebunan itu diantaranya penyelesaian hak atas tanah dan penerapan hasil AMDAL atau UKL dan UPL. Sekarang, apakah penilaian usaha perkebunan ini sudah dilakukan dengan benar? Kalau sudah benar, mengapa masih terjadi konflik? Pemerintah daerah harus membuka PUP,”tegasnya. (Dzulviqor)
