NUNUKAN – Hari ini, Kamis (24/06/2021) DPRD Nunukan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan sejumlah perwakilan masyarakat adat yang berasal dari enam desa di Kecamatan Lumbis, Kabupaten Nunukan.
Enam desa tersebut adalah, Desa Patal I, Desa Patal II, Desa Lintong, Desa Pulubulawan, Desa Taluan dan Desa Podong.
Dalam RDP tersebut para tokoh adat menyampaikan dugaan pencaplokan lahan yang dilakukan oleh PT. Bulungan Hijau Perkasa (PT. BHP) di wilayah mereka.
Merespon aspirasi dari masyarakat adat tersebut, DPRD Nunukan akan membentuk panitia khusus (Pansus).
‘’Kita akan rapat internal DPRD untuk membentuk Pansus. Setelah Pansus terbentuk kita segera turun lapangan” ujar Ketua Komisi I DPRD Nunukan, Andi Krislina.
Andi Krislina juga meminta instansi teknis di Pemkab Nunukan untuk menyerahkan dukungan data sebagai dasar bagi DPRD untuk mengurai persoalan tersebut.
“Tolong kepada Bagian Ekonomi Pemkab Nunukan semua perusahaan yang menyalurkan CSR dilaporkan kepada kami. Itu juga akan menjadi dasar tindakan kami di lapangan,” katanya.
Aspirasi Masyarakat Adat.
Lebih lanjut, selain dituding telah melakukan pencaplokan lahan milik masyarakat adat, PT. BHP juga dianggap telah mengabaikan sejumlah komitmen yang merupakan kewajiban perusahaan.
“Kami mengadu ke DPRD untuk membela kami. Sejak 2008 perusahaan beroperasi, lahan plasma kami tidak diberikan,’’kata Kepala Desa Taluan, Nasution.
Nasution menambahkan selama ini perusahaan mengalokasikan dana CSR secara bergilir setiap tahun untuk setiap desa.
“Jadi satu desa hanya menerima kucuran dana CSR setiap enam tahun dengan besaran dua ratus juta rupiah” tambah Nasution.
Sementara itu, Kepala Desa Lintong, Darsono membenarkan sejumlah persoalan yang telah diuraikan oleh Nasution, ia menambahkan warga di sana seakan dikucilkan oleh perusahaan.
Menurutnya, perusahaan kerap mempersulit warga setempat untuk bisa bekerja di perkebunan sawit tersebut.
Kalaupun mereka bisa ikut test, perusahaan selalu punya cara untuk menggugurkan mereka dalam proses perekrutan.
‘’Bulan Februari lalu ada test, harus menjawab 50 soal, namun waktu yang disediakan hanya 12 menit untuk. Artinya, satu soal hanya memiliki waktu 14,4 detik. Logikanya untuk membaca saja kurang, apalagi menjawab. Makanya anak-anak tidak ada yang lulus,’’ urai Darsono.
Masih kata Darsono, PT. BHP juga telah mengabaikan kewajiban mereka terkait hak warga untuk mendapatkan lahan plasma.
‘’Seharusnya, dalam kurun waktu sekitar 13 tahun, kami tidak lagi menuntut lahan plasma, melainkan sertifikat lahan plasma,’’ tegasnya. (Dzulviqor)