NUNUKAN, KALIMANTAN UTARA – Ratusan keluarga transmigran di Satuan Pemukiman (SP) 5 Sebakis, Nunukan, Kalimantan Utara, masih terus memperjuangkan keadilan.
Dua belas tahun setelah program transmigrasi yang menjanjikan kehidupan lebih baik, 230 Kepala Keluarga (KK) justru ditelantarkan tanpa lahan garapan yang jelas.
Harapan mereka untuk sukses sebagai transmigran kini sirna, tergantikan oleh perjuangan sehari-hari untuk sekadar menyambung hidup.
Nestapa di Perantauan, Suara Hati yang Terabaikan
Kondisi pilu para transmigran ini kembali disorot oleh Yudha Adjie, seorang warga Nunukan yang prihatin.
Melalui unggahan ulang video lama tahun 2023, Yudha berharap dapat menggerakkan hati pemangku kebijakan.
“Ini video lama, sekitar tahun 2023. Saya unggah ulang dengan harapan bisa mengetuk hati para pemangku kebijakan. Sehingga transmigran SP 5 Sebakis, mendapatkan hak yang dijanjikan, tak perlu terus meratapi nasib akibat janji palsu pemerintah,” kata Yudha pada Senin (2/6/2025).
Dalam video berjudul “Transmigran Gagal korban PHP SP5 Nunukan, Kalimantan Utara”, seorang transmigran menyuarakan kekesalannya dengan emosional.
“Kami ini sebenarnya warga Negara Indonesia atau bukan. Kalau Warga Negara Indonesia, ya jangan dibuang seperti ini, kami seperti diasingkan di sebuah pulau di sini,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa program ini resmi, melibatkan 230 KK dari Jawa, sehingga pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab penuh atas kegagalan ini.
“Dengarkan para pemerintah nih. Baik pemerintah daerah ataupun pusat. 230 KK dikirim dari Jawa ke sini (Nunukan). Ini bukan transmigrasi lokal ini, transmigrasi Negara ini, janji-janji pemerintah akan memberikan sepenuhnya kebutuhan kami, logistik, mana? Sampai sekarang belum ada,” tuntutnya.
Bahkan, kepemilikan lahan tempat tinggal mereka pun masih belum jelas.
“Apalagi lahan usaha, lahan plasma, mana? Tolonglah pemerintah tanggapi keluh kesah kami. Kami juga warga Negara Indonesia. Kami butuh keadilan,” tegasnya.
Respons Pemkab Nunukan: Janji dan Birokrasi yang Buntu
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan mengakui kompleksitas masalah ini.
Mereka terus melobi Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Kemenakertrans), memaparkan kondisi di lapangan, namun hasilnya nihil.
Upaya di tingkat daerah untuk melobi PT SIP (Sebuku Inti Plantation) agar merelakan 50 hektar lahan mereka juga terganjal legalitas perusahaan.
Kepala Disnakertrans Nunukan, Masniadi, menyatakan bahwa penyelesaian masalah ini berada di tangan Kementerian.
“Terus terang saja, kalau kami ditanya bagaimana solusi para transmigran, kami menjawabnya terus mengusahakan. Ini masalah birokrasi dan keputusan akhirnya pada Kementerian,” kata Masniadi.
Ia menambahkan bahwa ini adalah “peristiwa janggal”, di mana transmigran resmi tidak memiliki lahan garapan.
Hingga kini, Pemda Nunukan tidak memiliki kewenangan untuk memberikan kompensasi atau memulangkan para transmigran.
“Jadi sekali lagi, kami juga mengharapkan masukan Kementerian, bagaimana nasib para transmigran,” imbuhnya.
Beberapa transmigran bahkan meninggal dunia tanpa pernah merasakan menggarap lahan, terus berjuang dengan pekerjaan serabutan demi dapur tetap mengepul.
Kronologi Kasus, Janji di Atas Kertas yang Tak Terwujud
Penempatan 230 KK transmigran ini berdasarkan kerja sama antara Pemkab Nunukan dan Pemkab Klaten, Jawa Tengah.
Surat Nomor 2 Tahun 2013 menetapkan bahwa setiap transmigran berhak menerima lahan pekarangan 0,25 hektar, lahan usaha 1 seluas 0,75 hektar, dan lahan usaha 2 seluas 2 hektar, yang seharusnya diterima dan digarap paling lambat dua tahun setelah penempatan.
Namun, setelah 12 tahun berjalan, lahan-lahan tersebut belum juga terealisasi, dan di lapangan, lahan dikuasai oleh masyarakat, menyulitkan Disnakertrans Nunukan menyelesaikan masalah ini. (Dzulviqor)
