Penulis: Hendrawan R. Wijaya (Eks. Pengurus HMI Cabang Makassar Timur)
OPINI – “Di belantara dinasti, gerak warga merayu. Merayap melawan kuasa, kian terasa suram. Sebab saban keluarga juga kerabat, sang dinasti. Menggandeng lewat belas kasih, dan sosial derma, sesama insan di sana”.
Penggalan kalimat agak puitis itu mengilustrasikan, betapa sukarnya membangkitkan kesadaran politik masyarakat untuk memahami politik dinasti secara mendalam.
Kesejahteraan sosial juga distribusi kebaikan kerap menjadi peluru yang sengaja menghunjam masyarakat pada momen-momen tertentu.
Istilah politik dinasti pada dasarnya mengacu pada konteks, terkonsentrasinya kekuasaan secara turun-temurun kepada satu kelompok keluarga, berdasarkan hubungan darah.
Fenomena ini (Herdiansyah, 2020:3), diartikan sebagai kemampuan suatu keluarga untuk mewariskan kekuasaannya secara turun temurun.
Akhir-akhir ini, politik dinasti kerap jadi perbincangan hangat di Nunukan.
Berbagai penilaian pun mencuat, seperti apa salahnya politik dinasti di era demokrasi? Toh itu merupakan konsekuensi berdemokrasi. Penilaian ini bisa menjadi bahan pikir kita ke depan.
Salah atau benarnya dinasti sebagai sebuah penilaian, tentunya membutuhkan proses untuk sampai ke situ.
Adalah kesakitan berpikir akut, ketika penilaian hadir sebagai suatu kepercayaan tanpa melalui proses.
Umpama sampah yang membukit di samping jalan menuju SMKN 1 Nunukan dinilai sebagai gejala maruknya masyarakat mengkonsumsi, tanpa mengetahui prosesnya.
Bisa saja membukitnya sampah adalah akibat dari proses pemda yang tak bermutu, fakir menyelesaikan problem itu.
Perbincangan dinasti sering kali terpaku pada aspek normatif saja, terbatas pada pertanyaan apakah sesuatu itu salah atau benar, boleh atau tidak boleh.
Dan ini dianggap telah selesai setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015.
Kendati, ada banyak dimensi lain yang dapat dijelajahi dalam sebuah sistem politik yang mengandalkan garis keturunan.
Memang secara normatif tidak dilarang, tetapi dinasti masih dianggap tidak memenuhi standar etika dalam sistem pemerintahan demokrasi dan berpeluang menciptakan pemerintahan yang korup.
Etika pemerintahan merupakan etika terapan yang berperan dalam urusan pengaturan tata kelola pemerintah. Mencakup isu-isu kejujuran dan transparansi dalam pemerintahan, yang pada gilirannya diperhadapkan dengan hal-hal seperti; penyuapan; korupsi politik; korupsi polisi; etika legislatif; etika peraturan; konflik kepentingan; pemerintahan yang terbuka; etika hukum (Ismail, 2017:15).
Di samping itu, keberadaan politik dinasti mengaminkan terjadinya kompetisi yang tidak setara antar kandidat.
Bagaimana tidak, kandidat yang berasal dari dinasti biasanya dianggap sudah menang, mendahului kompetisi.
Melalui mobilisasi aparatur sipil negara, warisan jaringan politik dan juga sokongan finansial oligarki sebagai instrumen mewah yang sangat mungkin digunakan.
Sehingga corak kebijakan politik ke depan, hanya berulang, dihiasi dengan jargon “keberlanjutan”. Tanpa perubahan, apa lagi perombakan total. Ini dilakukan semata-mata untuk menjaga tali silaturahim dengan oligarki.
Dengan kondisi tersebut maka kualifikasi, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki kandidat berlatar dinasti bisa saja dianggap bukan variabel penting.
Hal demikian menempatkan dinasti sebagai ancaman problematis dalam kehidupan demokrasi lokal kita.
Sebut saja salah satu kandidat bakal calon Bupati Nunukan, yang konon telah mendapat restu dari Ketua DPC salah satu Parpol.
Yang memang sejatinya, merestui adalah tugas orang tua. Apakah ini merupakan skenario mempertahankan kekuasaan?
Sungguh, siapa peduli dengan kualifikasi atau pengalaman? Apakah itu benar-benar penting ketika ada kandidat dinasti? Kandidat dari dinasti menjadi pesona elektoral bagi parpol yang gagal menjalankan meritokrasi kader, kondisi ini diperparah dengan permakluman di kalangan pemilih.
Ini merupakan ancaman yang mematikan iklim demokrasi, di mana representasi hanyalah ilusi dan prinsip kesetaraan politik dan etika pemerintahan hanyalah omon-omon.
Apakah suatu dinasti sudah pasti korup? Belum tentu. Tapi bahwa dinasti memiliki kecenderungan korup, itu sulit dibantah.
Pada prinsipnya, politik dinasti memberikan ruang dan menyediakan jalan tol bagi KKN (perilaku predatoris) lokal. Dilansir dari tempo.co (2021), berderet kasus korupsi yang lahir dari dinasti politik, seperti Fuad Amin Bupati Bangkalan 2003-2012, Syaukani Hasan Rais Bupati Kutai Kartanegara 1999-2010, Yan Anton Ferdian Bupati Banyuasin 2013-2018, Sri Hartini Bupati Klaten 2016-2021, Atty Suharti Walikota Cimahi 2012-2017, Ratu Atut Chosiyah Gubernur Banten 2007-2017, Puput Tantriana Sari Bupati Probolinggo 2013-2021.
Hasil riset Nagara Institute (2020) mengenai dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah tahun 2020, membeberkan temuan, terdapat 124 kandidat yang terafiliasi dengan dinasti dan maju sebagai calon kepala daerah, tersebar merata di 270 daerah pemilihan.
Terdapat 67 laki-laki dan 57 perempuan yang sebagian merupakan istri dari kepala daerah sebelumnya.
Riset ini juga menemukan fakta Partai Golkar menempati urutan pertama yang mengusung dinasti sebanyak 12,9%. Kemudian PDIP 12,4% dan Partai Nasdem 10,1%.
Dalam hal partai yang mengusung calon kepala daerah non-kader, Partai Nasdem menempati posisi teratas sebanyak 13,1%, disusul PDIP 11,7% dan Partai Hanura 9,7%.
Jumlah 124 orang kandidat berlatar dinasti pada pilkada 2020 mengalami peningkatan yang cukup drastis dibanding dengan pilkada rentang waktu 2005 hingga 2018. Tentunya peningkatan ini didorong oleh beberapa faktor, sebagai berikut:
1. Kelembagaan parpol yang tidak demokratis. Bukan hanya dalam soal proses pengambilan kebijakan dalam tubuh parpol yang cenderung dimonopoli oleh kelompok tertentu, tetapi juga dalam soal “gagalnya” parpol menjalankan sistem meritokrasi dalam proses rekrutmen dan kaderisasi.
2. Minimnya kapasitas parpol dalam membangun kemandirian keuangan organisasi. Hal ini memberikan ruang dominasi kepada oligarki yang memiliki sumber daya finansial yang matang. Pada akhirnya, monopoli kekuasaan berdasarkan kemampuan finansial inilah yang akan merawat tumbuh kembangnya dinasti politik.
3. Faktor regulasi yang memungkinkan konsolidasi politik dinasti. Beratnya syarat pencalon dalam Pilkada misalnya, membuat pintu masuk menjadi terbatas dan hanya memungkinkan diakses oleh kelompok kekerabatan tertentu saja. Hal ini selaras dengan biaya politik yang tinggi, seperti “mahar pencalonan”. Pintu inilah yang memberikan ruang konsolidasi bagi dinasti.
4. Adanya permakluman pemilih. Akibatnya, tidak ada semacam “kontrol sosial” terhadap dominasi klan politik tertentu. Permakluman sebagai kesadaran politik publik yang relatif masih rendah ini juga turut disumbang oleh absennya parpol dalam melakukan pendidikan politik.
Beberapa poin di atas sengaja saya buat agar publik bisa merenung dan membuat kesimpulan ulang, apakah politik dinasti memang tidak salah?
