NUNUKAN– Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSP3A) Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, menyatakan bahwa Nunukan sebagai wilayah perbatasan RI – Malaysia, belum masuk kategori Kota Layak Anak (KLA).
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) pada DSP3A Nunukan, Endah Kurniawatie, mengatakan, masih banyak persoalan terkait hak perempuan dan kasus anak, yang butuh penyelesaian dan perhatian banyak pihak.
‘’Kabupaten Nunukan pada 2022, tercatat sebagai Kabupaten dengan angka pernikahan dini tertinggi di Kaltara., yakni 24 kasus, ini tentu butuh perhatian serius ketika kita hendak menjadikan Nunukan masuk KLA,’’ ujarnya, Rabu (22/11/2023).
Jumlah tersebut, belum termasuk pernikahan yang dilakukan secara siri, dan tidak tercatat dj negara.
Persoalan lain yang mengemuka adalah nihilnya ruang terbuka yang ramah anak di Nunukan.
Padahal, DSP3A, sudah pernah merekomendasikan alun alun kota, untuk dijadikan sebagai areal lingkungan ramah anak.
Namun demikian, rekomendasi tersebut, terbentur dengan status lahan yang masih dimiliki PT Inhutani, sehingga banyak regulasi menuju KLA yang butuh dibicarakan dengan pemilik lahan.
‘’Karena lahannya bukan milik pemerintah, kita tidak bisa membatasi dengan aturan yang sekiranya ramah anak. Apalagi di alun alun kota itu tempatnya kan terlalu bebas. Orang dewasa berkumpul, merokok, dan ada juga yang berpacaran. Potensi transaksi prostitusi anak juga tinggi,’’ jelas Endah.
Analisa tersebut, berdasar hasil sejumlah wawancara dan pendampingan anak yang menjadi korban eksploitasi seksual.
Si bocah yang merupakan korban perceraian, curhat dengan temannya bahwa ibunya yang bekerja sebagai tenaga honor belum gajian, sehingga ia kesulitan membeli kebutuhannya.
Si teman curhat, menceritakan masalah si bocah kepada pacarnya, dan akhirnya memberi solusi untuk jual diri kepada ‘om senang’.
‘’Terjadilah kasus teman makan teman. Teman yang curhat dijual ke om om hidung belang, dengan harga Rp. 500.000. Ini terjadi dan ini sangat mengkhawatirkan, kita temukan ada beberapa kasus begini,’’ kata Endah lagi.
Selain itu, kasus hak asuh anak. Hal ini juga masih butuh sosialisasi intens.
Mayoritas orang tua yang bercerai, lebih fokus pada tuntutan harta gono gini, tidak mementingkan pembiayaan anak, atau jarang yang menuntut tanggung jawab mantan suami untuk menafkahi anak.
Padahal, lanjut Endah, seharusnya begitu palu sidang perceraian diketuk hakim, si anak sudah ada kejelasan berapa besar nafkah materi yang ia terima dari ayahnya setiap bulannya.
‘’Saya pernah ikut sidang perceraian yang membahas kasus culik menculik anak. Ini memprihatinkan dan memang butuh pemahaman bagi para keluarga yang mengalami perceraian,’’ sesalnya.
Dan permasalahan yang tak kalah penting, DSP3A Nunukan, tidak memiliki tenaga psikolog, padahal kasus kasus eksploitasi anak, dan masalah hak perempuan cukup banyak terjadi.
Meski ada sarjana psikologi, namun legalitas sebagai psikolog tentu berbeda ketika menghadapi kasus anak berhadapan dengan hukum.
Rekomendasi psikolog DSP3A Nunukan sebatas internal, dan tidak bisa menjadi dasar pertimbangan hakim. Beruntung, ada tenaga Peksos yang sedikit banyak menghandle persoalan dimaksud.
‘’Dengan segala persoalan tersebut, DSP3A mengajak aktifis, LSM, wartawan dan dunia usaha untuk bersinergi menjadikan Nunukan sebagai KLA. Mari kita selesaikan bersama masalahnya satu persatu, dan kita yakin kebersamaan ini akan mampu mencapai KLA seperti yang kita harapkan. Demi anak anak kita, demi generasi bangsa yang lebih baik,’’ kata Endah. (Dzulviqor)
