NUNUKAN – Petikan alat musik gambus terdengar syahdu diiringi lantunan salawat badar yang mengalun merdu dari mulut kakek bernama Bakri alias Daeng Patanga (65) eks Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Bone Sulawesi Selatan yang kini tinggal pada sebuah kebun di Tanjung Batu Kelurahan Nunukan Barat, Kabupaten Nunukan.
Daeng Patanga menceritakan perjalanan hidupnya sebagai TKI di Sandakan Malaysia sejak tahun 1982 silam.
Disana dia bekerja sebagai supir truk namun karena menderita penyakit hepatitis B akhirnya ia dideportasi pada tahun 1998.
‘’Saya dipulangkan ke Bone Sulawesi Selatan tapi tidak pulang ke rumah, malu dengan keluarga,’’ ujarnya, Minggu (15/8/2021).
Saat dipulangkan ke Indonesia Daeng memutuskan pergi mencari kerja di daerah Palopo, dan membuka kebun coklat.
Setelah kebun ia kelola sekitar 17 tahun dan hasil panen ia nikmati tiba-tiba terjadi perebutan lahan dengan warga lokal disana.
Akhirnya Daeng memutuskan untuk merantau lagi ke Nunukan sejak tahun 2016.
‘’Saya berharap bisa memantau kabar anak dan istri karena Nunukan lebih dekat dan mudah mendapat informasi dari para TKI yang pulang,’’ katanya.
Selama 5 tahun ini, ia terus berpindah dari kebun satu ke kebun lain. Untuk bertahan hidup, ia mengumpulkan kayu-kayu keras yang roboh di kebun dan hutan.
Singkatnya, dimana banyak pohon rebah dan bisa dimanfaatkan menjadi arang, di sanalah ia mendirikan tenda dan bermukim sementara.
‘’Kayu keras macam akasia itu saya bakar untuk dijadikan arang, hasilnya dijual untuk beli tembakau dan pengganjal perut. Ini saja saya bisa kerjakan, nah tidak ada saya punya pendidikan,’’ ujarnya.
Biasanya dalam sekali pembakaran, ia bisa mendapat 10 karung arang, yang dia jual seharga tiga puluh ribu rupiah per karung.
‘’Memang tidak setiap hari membakar, tapi ada saja dalam seminggu dibeli orang. Uang itulah yang dipakai untuk sehari-hari,’’ katanya.
Memiliki Anak Yang Mengalami Tuna Wicara
Di tengah alunan gambus, Daeng bercerita bahwa anak laki-lakinya mengalami gangguan bicara sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Sampai hari ini, tidak ada yang tahu mengapa putra semata wayangnya tersebut mendadak bisu.
‘’Yang menjadi penyesalan saya, karena saya jauh dan hilang kontak dengan anak dan istri. Kalau dibilang rindu, rasanya apapun yang saya lakukan sepertinya tidak bisa menebus jarak dan kondisi yang terjadi pada mereka selama saya tidak ada di tengah mereka,’’ katanya.
Rasa penyesalan, bersalah dan bercampur kerinduan itu pula yang membuatnya serba salah.
Selama ini, keadaan memaksanya tak dapat kembali ke Malaysia. Namanya sudah masuk dalam daftar hitam Imigresen Malaysia sehingga ia hanya berharap dapat kabar baik bagi anak dan istrinya.
‘’Mau bagaimana lagi? Apalagi sekarang tidak ada diizinkan orang melintas karena ditutup jalurnya (lockdown). Saya hanya bisa menunggu saja, meski tak pernah berkabar, lambat laun pasti mereka tahu keberadaan dan kondisi saya,’’ tuturnya.
Rasa rindu dituangkan lewat petikan gambus
Kerinduan dan penyesalan, tak membuat Daeng Patanga tak pernah patah semangat.
Ia selalu memiliki harapan bisa mendapat kabar baik tentang anak istrinya yang sudah menjadi warga Malaysia.
Keyakinanya terlihat jelas dan tekadnya seakan sudah bulat saat mengatakan harapannya.
‘’Meski tidak bisa bertemu, setidaknya bisa mendapat kabar akan kondisi istri dan anak sudah akan menjadikan saya sujud syukur,’’ katanya.
Sambil memetik gambusnya, ia mengatakan bahwa alat musik itulah yang selama ini menjadi tempatnya menuangkan kerinduan dan impian.
‘’Banyak senandung rindu dan sesal saya karang lewat nada gambus. Selain bermunajat, alunan gambus yang saya mainkan semoga menyampaikan kerinduan yang selama ini saya rasa lewat hembusan angin,’’ kata Daeng puitis. (Dzulviqor)
