NUNUKAN – Wacana pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk mengawal kasus pembongkaran rumah jabatan Bupati pada 2012 lalu, menimbulkan pro kontra di internal DPRD Nunukan.
Imbasnya, usulan Ketua DPRD Nunukan Hj Rachma Leppa Hafid membentuk Pansus untuk mengawal hasil audit Inspektorat 2016, ditentang Fraksi PKS dan Fraksi Demokrat.
‘’Masa jabatan DPRD Nunukan 2019 – 2024 itu tinggal dua bulan lagi. Pansus itu memiliki kewenangan untuk mempertanggungjawabkan hasil temuannya kepada masyarakat. Apa mungkin bisa selesai dalam waktu singkat. PKS menolak Pansus,’’ ujar Ketua Fraksi PKS DPRD Nunukan, Adama, Senin (27/5/2024).
Menurut Adama, memasuki musim politik sekarang, sangat sulit meyakinkan publik, bahwa masalah pembongkaran rumah jabatan Bupati Nunukan pada 2012 lalu, tidak bermuatan politis.
Lebih sulit lagi ketika, pembongkaran rumah jabatan berkaitan dengan salah satu kontenstan Pilkada Nunukan 2024, Drs H. Basri, yang merupakan Bupati saat itu.
‘’Silahkan kalau yang lain mau buat Pansus. Kami PKS menolak itu karena ini politis menurut kami,’’ tegasnya.
Hal senada juga disuarakan ketua fraksi Demokrat, Gat Khaleb. Menurutnya, sangat tidak elok DPRD Nunukan cawe cawe dalam masalah hukum yang sudah jelas perkaranya.
‘’Ini sudah menjadi temuan Inspektorat 2016. Semua dugaan pelanggarannya tertuang disana. Bukannya lebih elok tinggal menyerahkan saja dokumen itu ke Polisi atau Kejaksaan,’’ kata Gat.
Jika seandainya Pansus DPRD terbentuk sekalipun, kata dia, tidak ada kewenangan Pansus memanggil jaksa ataupun penyidik Polisi, mempertanyakan masalah dimaksud.
Kalaupun dipaksakan, nantinya DPRD dianggap cawe cawe dengan tugas APH yang tentunya sudah diluar kewenangan anggota DPRD.
‘’Janganlah mempertontonkan kebodohan kepada masyarakat. Tugas Pansus itu sebenarnya mempermudah APH. Sementara saat ini hasil audit Inspektorat sudah jelas. Apa lagi mau dicari? Serahkan saja yang dikatakan novum itu ke APH. Gak perlu Pansus, karena kita kerja bukan itu saja diurus,’’ tegas dia.
Sebelumnya, DPRD Nunukan, mewacanakan pembentukan Pansus untuk mengawal hasil audit Inspektorat terkait pembongkaran rumah jabatan Bupati pada 2012 lalu.
Leppa menjelaskan, kasus pembongkaran rumah jabatan Bupati Nunukan, memang telah bergulir hingga Kejaksaan, di 2012.
Kendati demikian, Jaksa menilai tidak ditemukan adanya perbuatan melanggar hukum, serta tidak ada kerugian Negara, sehingga Kejari Nunukan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
‘’Kenapa selama 12 tahun ini Kabupaten Nunukan tidak punya rujab ? Ada persoalan yang belum klir. Tidak ada yang berani membangun rujab, takut ada yang dipenjara,’’ ujar Leppa.
Leppa mengaku heran, karena sampai hari ini, meski fisik bangunan rujab sudah tidak ada, tapi masih terdaftar sebagai aset daerah.
Kasus ini menjadi perhatian masyarakat, dengan masuknya laporan LSM Aliansi Masyarakat Nunukan Peduli Penegakan Hukum pada 2016, yang mendesak Inspektorat untuk melakukan pemeriksaan ulang.
Pada akhirnya, Inspektorat, mengeluarkan laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas dugaan pebongkaran aset pemda Nunukan berupa rumah jabatan Bupati tahun 2012 Nomor : 700/081/LHP-K/XII/2016 Tahun 2016.
Terdapat tujuh poin yang dihasilkan dari pemeriksaan tahun 2016. Diantaranya, penghancuran rumah jabatan Bupati tahun 2012 merupakan tindakan melawan hukum, dilakukan tidak sah, dan tidak mengikuti prosedur penghapusan aset sesuai ketentuan.
’Terdapat kerugian keuangan daerah sebesar Rp 1.036.271.000,’’ jelas Leppa. (Dzulviqor)
