NUNUKAN, KN – Data Kejaksaan Negeri Nunukan, Kalimantan Utara, mengungkap fakta sosial yang memprihatinkan, residivis, alias pelaku berulang, mendominasi mayoritas kasus pencurian. Ini adalah potret kegagalan sistem sosial dan hukum.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Nunukan, Burhanuddin, menyebut fenomena ini sebagai “penyakit sosial” yang harus Kejaksaan atasi dengan pendekatan yang lebih humanis dan transformatif.
“Saya mendapati penyakit sosial dalam kasus pencurian yang pelakunya itu-itu saja. Kebanyakan pelaku pencurian di Nunukan adalah residivis,” ujar Burhanuddin kepada wartawan pada Jumat (14/11/2025) lalu.
Pilih Penjara Daripada Lapar, Jeritan Eks Narapidana
Pernyataan Kajari Burhanuddin mengungkap masalah struktural yang tak tersentuh oleh vonis pidana. Pasalnya, ia menilai sebuah sistem yang salah menggeneralisasi vonis pelaku kejahatan berat dan ringan.
Kondisi serupa juga terjadi pada pengguna narkoba. Sistem menjebloskan mereka ke penjara alih-alih merehabilitasi dan menyembuhkan. Akibatnya, kecanduan mereka bertambah parah dan niat jahat terus meracuni pikiran.
Buntutnya, eks narapidana merasa diasingkan. Mereka membentuk mindset bahwa masyarakat tidak menerima mereka dan kesulitan mencari pekerjaan.
Puncaknya, pengakuan miris dari seorang terdakwa menjadi lampu merah bagi sistem penegakan hukum konvensional.
“Hal yang membuat saya miris adalah terdakwa mengaku, dari pada tidak bisa makan di luar penjara, mereka lebih baik mencuri untuk kembali masuk penjara. Negara memberi mereka makan di penjara,” tutur Burhanuddin, menyingkap keputusasaan yang ekstrem.
Restorative Justice, Solusi Humanis Memutus Rantai Kejahatan
Menanggapi masalah struktural tersebut, Burhanuddin menegaskan, penegak hukum tidak harus menyelesaikan semua perbuatan pidana melalui hukum formil.
Sebaliknya, Kejaksaan menemukan sebuah cara mempermudah masyarakat mengakses keadilan dengan mengedepankan pendekatan humanis dan pemulihan keadaan akibat tindak pidana kerugian kecil. Mereka menyebut cara ini Restorative Justice (RJ).
Dengan RJ, Jaksa langsung menerapkan asas humanis. Mereka memprioritaskan pemulihan kerugian korban, meningkatkan kesadaran dan pertanggungjawaban pelaku, serta menghindari perpecahan dan memelihara keamanan lingkungan.
Sinergi Transformasi, Dari Penjara ke Dunia Kerja
Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal tersebut, Kejari Nunukan menggandeng sejumlah Organisasi Pemerintah Daerah (OPD). Sinergi ini memastikan RJ tidak berhenti pada formalitas hukum.
Kejari Nunukan melibatkan, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSP3A), Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), dan BAZNAS.
“Setelah RJ, kami memastikan pelaku terdaftar dalam sistem kependudukan di Capil. Kami melakukan rehabilitasi sosial di Dinsos. Setelah itu, kami membekali mereka dengan skill dan meminta Disnaker memberikan pekerjaan. Selanjutnya, kami memberikan permodalan melalui Baznas,” urai Burhanuddin.
“Sinergi ini membuktikan penanganan perkara tidak berhenti pada hukum formil. Ia menjadi asas kemanusiaan dan landasan kuat pelaksanaan tugas Jaksa yang humanis dan transformatif,” tegas Burhanuddin.
Syarat Ketat Restorative Justice
Meskipun demikian, penyelesaian pidana melalui Restorative Justice harus memenuhi 5 syarat:
- Pertama Kali: Pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana.
- Ancaman Ringan: Ancaman pidana maksimal 5 tahun penjara.
- Kerugian Kecil: Kerugian tidak lebih dari Rp2,5 juta.
- Kesepakatan Damai: Pelaku dan korban harus mencapai kesepakatan perdamaian. Pelaku juga harus mengembalikan barang atau mengganti kerugian.
- Diterima Masyarakat: Masyarakat tidak boleh menolak proses ini.
Lantas, Bagaimana dengan Residivis?
“Kami melakukan asesmen dan mempelajari latar belakang pelaku berbuat kejahatan berulang. Kalau Restorative Justice memungkinkan, kami coba lakukan pembinaan,” imbuh Burhanuddin.
RJ untuk Pengguna Narkoba, Fokus pada Penyembuhan
Di sisi lain, untuk Restorative Justice bagi pengguna narkoba, syaratnya adalah:
- Pelaku harus seorang penyalah guna/pecandu, bukan pengedar atau bandar.
- Pelaku tidak terlibat dalam jaringan narkoba.
- Barang bukti hanya untuk pemakaian satu hari (di bawah 1 gram) atau hasil tes urine positif tanpa barang bukti.
- Pelaku harus bersedia direhabilitasi, menjalani asesmen, dan kooperatif dengan penyidik.
“Kami mau masyarakat merasa hak-haknya diperhatikan. Kami mengembalikan hak sosial mereka, dan kami berharap mereka sadar sepenuhnya terhadap hukum sebab akibat,” tutup Burhanuddin. (Dzulviqor)
![]()







































