NUNUKAN – Pemerintah Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, mencatat angka stunting turun 15,8 persen di tahun 2024.
‘’Tahun 2023, angka stunting kita di 30,5 persen, tahun 2024 kita berhasil menurunkan kasus mencapai 15,8 persen,’’ujar Kepala Dinas Kesehatan Nunukan, Hj. Miskia, Selasa (19/6/2024).
Penurunan ini, karena aktifnya para relawan dan Tim Pendamping Keluarga (TPK), yang rutin memantau perkembangan keluarga rentan stunting.
Jelas Miskia, TPK Puskesmas di setiap Kecamatan, terus memberikan makanan tambahan yang bergizi untuk ibu hamil, serta memantau perkembangan janin, hingga pertumbuhan anak di atas lima tahun.
‘’Kita buat grup medsos Peduli Ibu. Di dalamnya kita masukkan para keluarga yang terdata sebagai rentan stunting, untuk terus memberikan informasi dan edukasi,’’ jelas Miskia.
Lanjutnya, penanganan kasus stunting di Nunukan kadang terkendala dengan pendatang yang tidak terdata dalam administrasi kependudukan.
‘’Mereka tidak terdata karena belum menjadi peserta PBI BPJS. Jadi kendala kita dalam penanganan stunting memang karena banyak pendatang dan deportan,’’ lanjutnya.
Fokus Pada Perkembangan Otak Anak.
Miskia mengatakan, kebijakan intervensi stunting di Nunukan, mengacu pada kondisi geografis, dan kebiasaan masyarakat setempat.
Sebagai contoh, di wilayah pedalaman, tim kesehatan lebih fokus pada perkembangan kualitas otak anak, ketimbang berpatokan pada berat badan dan tinggi ideal pada umumnya.
‘’Ada pola hidup saudara saudara kita di wilayah pedalaman sudah bekerja sejak dini. Mereka memikul atau kerja berat saat usianya masih kecil yang mempengaruhi tinggi badan. Jadi kita optimalisasi pengawasan perkembangan otak dengan intervensi perbaikan gizi, dan perbaikan pola hidup sehat,’’ imbuhnya.
Di wilayah perbatasan, ibu ibu yang memiliki balita, sedikit terkendala jika harus mematuhi jadwal pemeriksaan di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Aktivitas mereka yang bekerja di perusahaan perkebunan, menjadi faktor sulitnya mengatur waktu untuk rutin ke Posyandu.
Demikian juga yang di pedesaan dan jauh dari Puskesmas. Mereka lebih fokus pada aktivitas keseharian mereka yang dihabiskan di kebun atau mencari penghidupan di kedalaman hutan.
‘’Tantangan kita memang tidak ringan. Tapi kita optimis bisa menurunkan angka stunting sesuai standar nasional di angka 14 persen. Kita terus lakukan intervensi gizi dan PHBS,’’ kata Miskia.
Di sisi lain, anak anak stunting, ternyata tidak melulu dari kalangan ekonomi kurang mampu, atau anak anak yang tinggal di pelosok terpencil.
Tak sedikit anak anak ASN di Nunukan juga tercatat sebagai penderita stunting. Alasannya, anak anak tersebut sering mengkonsumsi makanan instan dan minuman dengan kandungan pemanis buatan.
‘’Jadi kembali pada pola hidup empat sehat lima sempurna. Kalau dulu ada pembagian bubur kacang hijau setiap Posyandu. Kita juga lakukan pemberian makanan tambahan untuk dicampur dengan makanan olahan rumah untuk pemenuhan vitamin dan gizinya,’’ kata dia. (Dzulviqor)