NUNUKAN, KN – Sebanyak 91 Kepala Desa (Kades) di perbatasan RI-Malaysia mengancam berdemonstrasi dan menggugat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025. PMK ini mengatur pengalokasian Dana Desa (DD) Tahun Anggaran 2025.
Ancaman tersebut dipicu oleh ketentuan pencairan Dana Desa (DD) tahap 2 yang terhambat. Syaratnya, setiap desa harus melampirkan Badan Hukum Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).
Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, memiliki 232 desa. Dari jumlah itu, 91 desa terancam DD tahap 2 senilai total sekitar Rp20 miliar tidak cair. Adapun, 141 desa lain sudah mencairkan dana sebelum PMK itu terbit.
Maladministrasi Aturan Berlaku Surut Memicu Gugatan Ombudsman
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMD) Nunukan, Helmi Pudaslikar, mengungkap, sejak ia menyampaikan PMK 81 kepada 91 Kades, mereka langsung protes dan berencana demo ke KPPN.
”Namun, hari ini kami mendapat kabar Menkeu sedang membahas masalah PMK 81. Jadi, keputusan para Kades akan demo atau tidak menunggu hasil rapat Kemenkeu hari ini,” ujar Helmi, Rabu (3/12/2025).
Para Kades menilai beleid PMK 81 sebagai maladministrasi. Kemenkeu memberi batas akhir penyerahan berkas KDMP pada 17 September 2025. Ironisnya, PMK 81 sendiri baru ditetapkan pada 19 November 2025 dan diundangkan pada 25 November 2025.
”Para Kades berpendapat ini maladministrasi. Bagaimana mungkin sebuah aturan berlaku surut? Akibatnya, muncul wacana para Kades akan menggugat PMK 81 ke Ombudsman melalui APDESI,” imbuh Helmi.
Rencana demonstrasi besar-besaran sudah matang. Sebagian Kades dan perangkat desa akan berdemonstrasi ke KPPN Nunukan, sementara sebagian lain melakukan demo di Kantor Kecamatan mengingat kendala geografis dan biaya mahal menuju Kota Kabupaten.
Dampak Skema Ear-Mark dan Proyek Desa Terancam Macet
Jika pencairan DD tahap 2 dilakukan sesuai PMK 81, skema ear-mark mengikat alokasi anggaran: 20% untuk ketahanan pangan, 15% untuk penanganan stunting, dan 25% untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT).
”Jika mengacu skema tersebut, DD di Nunukan yang rata-rata mencapai Rp700 juta per desa, hanya tersisa sekitar 36 persen, atau sekitar Rp252 juta,” urai Helmi.
Kebijakan ini membuat Kades panik. Banyak program pembangunan desa telah berjalan, mencakup kegiatan padat karya tunai, pembayaran honor pelaksana, hingga pembayaran material pihak ketiga.
”Kalau DD tahap 2 gagal cair, bagaimana mereka membayar semua kegiatan yang sudah berjalan itu?” tanya Helmi.
Helmi menyesalkan Kemenkeu. Padahal, masalah Badan Hukum KDMP sangat mudah diverifikasi di situs Kemenkumham, sebab 91 Desa di Nunukan sudah memiliki badan hukum KDMP yang terdaftar sejak 30 Mei 2025.
Helmi meminta 91 Kades agar segera menyerahkan rincian laporan kegiatan dan besaran anggaran yang belum terbayar.
”Kami masih mendata, jadi belum ada angka pasti yang bisa saya katakan,” tutup Helmi. (Dzulviqor)
![]()








































