NUNUKAN – Oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), Nunukan, Kalimantan Utara, inisial AH, didakwa dengan Undang undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Dalam sidang pembacaan dakwaan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Nunukan, jaksa mendakwa AH telah menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan atau perbuatan yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain.
‘’Perbuatan Terdakwa AH, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 6 huruf c Undang Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS),’’ ujar JPU Kejari Nunukan, Desta Adi Landya, dalam sidang dakwaan, Rabu (4/9/2024) sore.
Pada persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Andreas Samuel Sihite, dengan hakim anggota Bimo Putro Sejati dan Daniel Beltzar ini, Desta menguraikan sejumlah fakta perbuatan tak senonoh terdakwa kepada gadis pemohon KTP, SF (21), warga Jalan Muhammad Hatta, Nunukan.
Uraian dalam berkas dakwaan sama persis dengan pengakuan SF, dimana ia mengalami pelecehan seksual saat mengajukan permohonan pembuatan KTP, Rabu (8/5/2024) sekira pukul 09.00 Wita.
Dalam persidangan dituturkan, SF datang tanpa dokumen persyaratan pembuatan KTP, karena sejak usia 6 tahun korban diajak oleh orang tuanya yang bekerja sebagai TKI untuk tinggal di Malaysia.
Kemudian SF diminta masuk ke ruangan Terdakwa AH.
Di sana, AH bertanya apakah SF memiliki tato dan meminta SF dengan pakaian syar’i menunjukkan lengannya.
‘’Saya terpaksa kasih lihat dia. Saya naikkan lengan baju sampai bahu. Masih lagi dia tanya apakah rambut saya pirang. Karena kalau pirang tidak bisa dibuatkan KTP. Dia ancam robek berkas saya kalau tidak mau kasih nampak rambut,” beber SF.
Tak sampai di situ, AH juga meminta SF menyanyikan lagu Indonesia Raya, sebagai syarat memiliki KTP.
SF yang tumbuh besar di Malaysia mengaku tak hafal lagu Indonesia raya. SF meminta waktu tiga hari untuk menghafalkan lagu tersebut.
“Dia bilang tidak bisa, kalau mau KTP jadi tapi tidak hafal lagu itu (Indonesia Raya), ada syarat lebih mudah, cium pipi kanan dan kiri,” lanjutnya.
Padahal, berdasarkan Permendagri Nomor 108 Tahun 2019 tentang peraturan pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 tahun 2018, tentang persyaratan dan tata cara pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil , dalam proses verifikasi dan validasi terhadap formulir biodata penduduk, tidak mensyaratkan adanya pemeriksaan tato dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
SF yang sendirian dalam ruangan tersebut hanya bisa diam terpaku saat AH tiba-tiba beranjak dari kursi lalu menutup rapat pintu ruangan kantornya.
Sementara SF diminta cepat mendekat ke pintu. Sambil memegang pegangan daun pintu, kepala SF ditarik paksa.
Selanjutnya, oknum ASN itu mendaratkan ciuman di wajah sampai bibir SF, dan menggerayangi tubuhnya.
“Saya langsung berontak, melepas paksa rengkuhannya. Saya keluar menangis. Sempat ada yang tanya mengapa saya menangis, saya sangat malu bicara kalau saya dilecehkan. Saya hanya jawab kalau saya tidak hafal lagu Indonesia Raya,” tutur SF.
‘’Terdakwa Abdul Hapit juga dijerat dengan Pasal 289 KUHP, karena terdapat unsur ‘dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan untuk dilakukan perbuatan cabul’,’’ kata Desta lagi. (Dzulviqor)