NUNUKAN – Pemandangan haru terlihat dalam deportasi yang di lakukan Pemerintah Malaysia terhadap sejumlah Warga Negara Indonesia melalui pelabuhan Tunon Taka, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, pada Kamis 21/10/2021 lalu.
Diantara para deportan terdapat dua orang anak masing-masing Mohd Khairil Bin Aris (8) dan adik kandungnya bernama Mohd Hasril Bin Aris (6). Ketibaan mereka di Pelabuhan Nunukan tanpa didampingi sanak keluarga, dan ini merupakan kali pertama mereka menginjakkan kakinya di Indonesia.
Sub-Koordinator Perlindungan dan Penempatan UPT BP2MI Nunukan Arbain mengatakan, mereka diamankan dalam operasi pendatang haram oleh otoritas setempat saat hendak pulang kampung sekitar bulan Maret 2021 lalu.
“Keduanya bersama ayahnya dibawa ke tahanan Imigrasi, namun dalam masa penantian pemulangan ke Tanah Air, ayahnya meninggal dunia karena sakit,” ujar Arbain, pada Jumat 22/10/2021 Kemarin.
Lanjut Arbain, ibu dari kedua anak tersebut juga sudah pergi sejak mereka masih kecil, selama ini almarhum ayahnya yang bekerja serabutan yang mengurus anak-anak tersebut.
“Mereka berasal dari Desa Sangkala Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan,” sebutnya.
Mempertimbangkan kondisi kedua bocah malang tersebut, BP2MI Nunukan berkoordinasi dengan Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) agar mendapat perlakuan sebagaimana mestinya.
‘’Sementara anak anak tersebut diambil DP3A Nunukan. mereka harus menerima sejenis terapi atau konseling dari Psikolog atas kondisi mereka,’’ kata Arbain lagi.
Menurut penuturan bocah bernama Khairil Bin Aris, sebelum ayahnya Aris Bin Saing (40) meninggal dunia, ayahnya sempat pingsan karena merasa kesakitan.
Kondisi tersebut terjadi saat ketiganya berkumpul untuk makan malam, entah mengapa tiba-tiba saja sang Ayah terbaring tak sadarkan diri setelah terlihat menahan sakit yang hebat.
‘’Waktu itu kami makan, baru saja satu suap masuk mulut ayahku, dia kesakitan dan terbaring pingsan di depan kami. Adikku langsung menangis coba bangunkan ayah, digoyang goyangnya terus badannya, ndak juga bangun,’’ tutur bocah 8 tahun ini bercerita.
Suara tangisan kencang tersebut membuat petugas Imigrasi Malaysia menyadari yang terjadi dan bergegas melarikan Aris ke Hospital Tawau untuk mendapatkan pertolongan.
Namun sayang, nyawa Aris tak bisa terselamatkan.
‘’Orang bilang ayahku meninggal sekitar pukul tujuh pagi. Adikku menangis terus, aku peluk dia dan minta jangan menangis terus,’’ sambung Khairil.
Meski berusia 8 tahun, Khairil cukup lancar dalam menceritakan kisahnya meski ia dan adiknya hingga saat ini belum pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah.
Cerita yang dituturkannya juga sama persis dengan laporan dari Konsulat RI di Tawau Malaysia, bahwa Aris Bin Saing ayahnya, meninggal pada 25 September 2021 di Hospital Tawau sekitar pukul 07.50 waktu setempat.
Dalam surat tersebut dijelaskan, sebab kematian Aris adalah cardiogen shock secondary to stemi atau dengan kata lain, syok yang disebabkan oleh ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh.
Sementara itu, Kepala DP3A Nunukan, Faridah Aryani mengatakan, kedua bocah malang tersebut saat ini dalam asuhan Yayasan Aisiyah Ruhama.
Sejauh ini, DP3A Nunukan belum memiliki bangunan yang layak untuk anak dengan kasus kasus seperti ini, sehingga Pemkab Nunukan menjalin kerja sama dengan Panti Asuhan untuk menampung dan memberikan konseling dan bimbingan psikologi.
‘’Kami berikan mereka suasana baru. Tidak elok kalau anak usia segitu dengan kondisi yang dalam artian mengguncang jiwanya karena ditinggal pergi ibunya sejak kecil. Mereka korban broken home dan dibesarkan ayahnya, tapi justru ayahnya yang selama ini menjadi pelindung mereka meninggal dunia dalam penampungan,’’ katanya prihatin.
Dari beberapa penuturan dan laporan yang diterima DP3A Nunukan, Aris selama ini bekerja keras demi membesarkan kedua anaknya.
Ia juga sudah merencanakan agar keduanya bersekolah di Indonesia, yang merupakan Negara asal mereka.
Sayangnya saat akan melaksanakan niatnya untuk menyekolahkan anaknya di kampung halaman, ia tertangkap aparat Malaysia dan meninggal dunia di penampungan.
‘’Almarhum bahkan sudah mengirimkan uang ke neneknya sekitar 3.000 Ringgit untuk keperluan bersekolah anaknya. Tapi ajal tidak ada yang tahu, semoga anak-anaknya bisa menggapai cita citanya yang katanya ingin menjadi Askar atau Tentara,’’ imbuhnya.
DP3A Nunukan juga sudah menjalin komunikasi dengan pihak keluarga si bocah yang ada di Sulawesi Selatan.
Lewat panggilan video mereka meminta izin untuk memulihkan kondisi psikis si bocah, dan meminta pengertian dari pihak keluarga.
‘’Sementara ini biarkan mereka menemukan dunia mereka. Di Panti Ruhama, mereka berkumpul dengan anak-anak sebaya mereka, diajari baca tulis dan perlahan kami pulihkan dari traumanya. Jadi kami fokus untuk trauma healing bagi keduanya,’’ jelas Faridah.
Dikonfirmasi sampai kapan keduanya akan berada dalam bimbingan dan asuhan DP3A Nunukan, Faridah menegaskan, sampai ada rekomendasi dari Pekerja Sosial (Peksos) dan psikolog yang menyatakan mereka sudah bisa dipulangkan.
‘’Jadi masalah anak tidak main-main karena menyangkut masa depan mereka. Kami berharap pengertian keluarga si anak, semoga mereka bisa melewati peristiwa kelam yang dialami selama ini,’’ katanya.
Sebagai informasi Pemerintah Malaysia mendeportasi 193 PMI yang telah usai menjalani hukuman mereka di Depot Imigresen Tawau (DIT) pada Kamis (21/10/2021) sore.
Awalnya, ada 197 PMI yang hendak dipulangkan melalui Pelabuhan Tunon Taka Nunukan, namun karena saat pengecekan, ada 3 orang terkonfirmasi positif COVID-19 dan 1 orang belum lengkap dokumennya, kepulangan mereka harus ditunda. (Dzulviqor)
