NUNUKAN – Ketua Kelompok Tani 752, yang ada di Jalan Imam Bonjol/Mambunut, Nunukan Selatan, Dali, mengeluhkan sulitnya menjual hasil panen sayur mayur.
Harga yang selalu dimainkan tengkulak, membuat ia dan sebagian anggota kelompok tani yang dipimpinnya, sempat berhenti bercocok tanam, akibat kehabisan modal.
‘’Kita jatuh sekali itu saat Covid-19. Hasil panen cabai, tomat, timun, membusuk tidak ada yang mau beli. Karena kami petani kecil, modal itu berputar, kalau tidak laku, apa mau kami pakai beli bibit dan menggarap kebun,’’ ujarnya, ditemui, Selasa (2/7/2024).
Meski bangkrut sejak 2021, Dali dan beberapa anggota kelompok tani 752, berusaha patungan dan memberanikan diri berutang uang demi kelangsungan hidup mereka.
Rasa kecewa dan trauma karena hasil panen membusuk tidak terjual, mengakibatkan kelompok tani 752 Mambunut, menanam seadanya.
Mereka membeli bibit dengan perkiraan sebatas menutup modal. Padahal, kelompok tani 752, memiliki lahan garapan lebih 30 ha, yang biasa ditanami jagung, bawang merah, tomat, ketimun, dan cabai.
Karena jika berharap keuntungan tinggi, Dali mengatakan, harapan tersebut masih sebatas impian.
‘’Petani lokal Nunukan, tantangannya adalah kedatangan kapal dari Sulawesi yang memuat sayuran. Harga sayuran Sulawesi lebih murah, sehingga hasil penjualan sayur kami itu cuma bisa untuk gali lubang tutup lubang,’’ keluhnya.
Dali mengatakan, sebenarnya, banyak sekali petani sayur Nunukan dengan lahan cukup luas bisa diberdayakan.
Sayangnya, pangsa pasar yang sulit, dan harus bersaing dengan sayuran yang didatangkan dari Sulawesi, membatasi kuantitas tanaman yang mereka tanam.
‘’Bagaimana mau menanam banyak, kalau menjualnya saja susah. Harga selalu dimainkan tengkulak, dan kalah bersaing dengan sayuran Sulawesi,’’ tegasnya.
Harga varietas sayuran asal Sulawesi juga terbilang lebih murah. Kontur tanah disana yang hanya cukup dengan pupuk urea, sangat jauh berbeda dengan tanah Nunukan yang harus dicampur kapur, diberi pupuk kandang/kompos, yang butuh anggaran lebih tinggi.
Berharap ada Koperasi Tani
Dali dan teman-teman petani lain, meminta Pemerintah Daerah membuat koperasi tani yang bisa mengakomodir hasil para petani lokal.
Jika hanya mengandalkan hasil pertanian dari luar Nunukan, Kabupaten yang ada di perbatasan Malaysia – Indonesia ini memiliki potensi kerawanan pangan tinggi.
Karena jika ada kapal dok, atau kendala cuaca yang mengganggu pelayaran, pasokan pangan akan terhenti, dan kelangkaan pangan kapan pun bisa terjadi.
‘’Harapan kami itu, bagaimana bisa menjual hasil panen dengan harga diatas modal. Setidaknya kalau ada koperasi tani, harapan kami bisa terkabul. Tapi selama ini, kami mendorong hasil panen dengan gerobak ke pasar, tengkulak sudah menguasai pasar. Kami hanya bisa pasrah dengan harga murah,’’ lanjutnya.
Dali dan 15 teman teman petani sayur dalam kelompoknya, sering patah semangat, karena hasil panen hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari hari.
Untuk biaya anak sekolah, kadang mereka harus pontang panting mencari pinjaman kesana kemari.
‘’Kalau harga cabai Sulawesi tinggi Rp 150.000/Kg misalnya, harga cabai lokal bisa Rp 170.000. Tapi kalau kapal lancar datang dan harga cabai Rp 30.000/Kg, misalnya, hancur kami semua. Rugi saja dapatnya, apalagi tomat, timun, kalau gak dijual busuk dia,’’ kata Dali lagi.
Demikian juga saat ada alokasi pupuk urea atau NPK subsidi. Karena hasil panen yang sulit terjual, mereka kesulitan membayar pupuk.
Namun begitu uang sudah terkumpul, pupuk subsidi sudah habis.
‘’Terlalu sering kami begitu. Kalau ada koperasi yang mengakomodir hasil panen, mungkin kami bisa bernafas lega,’’ kata Dali.
Kunjungan Anggota DPRD jadi solusi
Beruntung, ada salah satu anggota DPRD Nunukan, Adama, yang sering datang, dan memberikan bantuan alat alat pertanian juga bibit tanaman.
‘’Yang kami syukuri, masih ada Pak Adama yang sering datang ke kebun kebun kami. Melihat langsung kondisi kami dan meminta kami jujur apa yang kami butuhkan. Semangat kami berkebun akhirnya kembali lagi karena bibit gratis dan alat pertanian gratis,’’ tuturnya.
Sebenarnya, Dali dan petani lain malu meminta dan berterus terang kepada Adama, karena mereka tidak ikut mencoblos saat Pileg, lantaran Adama bukan dari Dapil mereka.
Akan tetapi, Adama selalu mengatakan bahwa sebagai wakil rakyat, ia harus memperjuangkan semua kesulitan masyarakatnya, khususnya kaum petani.
‘’Awalnya kami malu, tapi karena beliau terus datang dan meminta kami berterus terang apa yang kami butuhkan, kami enak menyampaikan keluh kesah kami. Seandainya ada tiga saja Anggota DPRD macam Pak Adama, mungkin kesulitan petani lokal Nunukan bisa segera teratasi,’’ kata Dali. (Dzulviqor)
