Oleh: Suriadi
(Pengurus KNPI Nunukan & Mahasiswa Doktoral Manajemen Pendidikan Islam di Universitas KH Abdul Chalim, Mojokerto Jawa Timur )
Bagaimana wajah pendidikan di perbatasan hari ini? Pertanyaan ini menjadi pijakan utama untuk mengukur sejauh mana Pemerintah Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, hadir di tengah masyarakat. Kehadiran negara melampaui urusan formalitas. Ia menjadi energi penggerak untuk menentukan arah baru masa depan daerah.
Isu pendidikan di Nunukan memiliki pola yang identik dengan wilayah perbatasan lain, seperti Malinau, Kapuas Hulu, hingga Merauke. Semua daerah ini menunjukkan ketimpangan akses dan kualitas yang bersifat struktural. Meskipun sekolah berdiri secara administratif, letak geografis, keterbatasan infrastruktur, serta distribusi guru yang tidak merata masih mendikte kualitas layanan.
Masyarakat perbatasan juga kerap terjepit antara tekanan ekonomi dan rendahnya harapan terhadap pendidikan tinggi. Banyak keluarga menganggap bangku kuliah sebagai jalur sukses yang mustahil. Kondisi ini menuntut kita menilik kembali kebijakan anggaran. Sejauh mana politik pendidikan memihak pada keberlanjutan hidup warga?
Pernyataan Politik Melalui Beasiswa
Pendidikan di daerah terluar menguji kejujuran negara dalam menjamin keadilan sosial. Keluhan para orang tua, mahasiswa, hingga pemuda di Nunukan selalu bermuara pada satu titik, yakni, penantian atas pemerataan pendidikan yang adil. Kebijakan pendidikan di sini sejatinya merupakan pernyataan politik tentang siapa yang mendapat prioritas dalam proyek pembangunan.
Hadirnya Beasiswa Harapan Energi Baru menjadi langkah afirmatif yang berani dari Pemerintah Kabupaten Nunukan. Kita patut mengapresiasi terobosan ini. Namun, pujian saja tidak cukup. Kebijakan ini justru memerlukan pembacaan kritis agar memicu transformasi nyata, bukan berhenti sebagai simbol semata.
Sebagai penerima manfaat, saya menggunakan tulisan ini untuk mengingatkan para pemangku kebijakan. Masalah pendidikan kita merujuk pada akar yang lebih dalam daripada jarak geografis atau biaya. Ketimpangan ganda terjadi ketika fasilitas yang minim bertemu dengan hilangnya kepercayaan warga terhadap masa depan pendidikan.
Membedah Peluang dan Tantangan
Beasiswa Harapan Energi Baru hadir sebagai jembatan kesempatan. Program ini mendobrak logika elitis melalui jangkauan lintas jenjang, mulai dari pendidikan dasar hingga doktoral. Ia juga merangkul prestasi non-akademik serta kelompok sosial rentan. Langkah ini membuktikan, hambatan pendidikan sering kali lahir dari terbatasnya kesempatan struktural, bukan kurangnya kemampuan individu.
Ekonom Amartya Kumar Sen dalam karyanya, Development as Freedom, memandang pendidikan sebagai upaya memperluas ruang pilihan hidup. Beasiswa berfungsi sebagai instrumen yang memerdekakan warga perbatasan untuk memilih jalan hidup yang bermakna. Selama mampu membuka ruang tersebut, kebijakan ini merupakan langkah progresif yang layak mendapat dukungan.
Namun, dukungan buta justru membahayakan. Tanpa desain pendampingan yang peka terhadap kondisi sosial, beasiswa berisiko menjadi bantuan sementara yang gagal mengubah struktur ketimpangan. Kita perlu belajar dari fenomena nasional tentang sarjana yang kehilangan arah karena ketiadaan lapangan kerja yang relevan.
Menghindari “Brain Drain” di Perbatasan
Pierre Bourdieu pernah mengingatkan risiko pendidikan yang hanya mereproduksi ketidakadilan. Mahasiswa dari latar belakang ekonomi lemah tidak hanya berjuang melawan biaya, tetapi juga berhadapan dengan perbedaan modal sosial dan jejaring. Tanpa penguatan mental dan kapasitas, beasiswa hanya menciptakan ilusi kesetaraan.
Pemerintah daerah juga perlu mengantisipasi risiko brain drain—kondisi saat putra daerah berprestasi justru tercerabut dari akar sosialnya setelah lulus. Beasiswa harus menjadi bagian dari politik pengetahuan daerah. Program ini wajib mendukung sektor strategis seperti kesehatan, energi, dan layanan sosial di Nunukan.
Keberhasilan sebuah kebijakan tidak hanya tampak dari angka partisipasi atau besarnya anggaran. Keberhasilan sejati terletak pada lahirnya lulusan yang bersedia pulang dan membangun daerah. Pemerintah perlu menyiapkan peta jalan yang menghubungkan para sarjana ini dengan kebutuhan pembangunan daerah.
Beasiswa Harapan Energi Baru merupakan fondasi yang kuat. Namun, masa depan Nunukan membutuhkan kebijakan yang sabar, adaptif, dan berani menerima koreksi. Melalui kesadaran struktural itulah, “energi baru” ini benar-benar mampu melahirkan “arah baru” bagi kemajuan kita bersama.
![]()







































