NUNUKAN – Tim harmonisasi hukum Pemerintah Daerah dan Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD, menyetujui wacana revisi Perda Nomor 16 tahun 2018, tentang pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Persetujuan ini, dituangkan dalam rapat paripurna persetujuan terhadap perubahan Perda 16/2018 tentang MHA, Senin (5/6/2023) lalu.
Ketua Bapemperda DPRD Nunukan, Hendrawan, mengatakan, Perda tentang pemberdayaan MHA, menjadi produk hukum yang akan segera direvisi, menimbang gejolak yang sempat terjadi.
‘’Kita lakukan perbaikan yang kita harapkan bisa mengakomodir semua MHA. DPRD dan Pemda Nunukan sudah sepakat dan setuju, sehingga berkas Raperda tersebut segera kita kirim ke Provinsi untuk mendapat rekomendasi sebelum dibahas di Kemendagri,’’ ujarnya.
Dia menuturkan, perubahan paling urgen, ada pada Bab VII, pasal 16, yang merincikan, ada nama nama MHA, masing masing, Dayak Lundayeh, Dayak Agabag, Dayak Tahol, Dayak Okolod dan MHA Tidung.
Rincian nama-nama MHA tidak dibuat detail, melainkan dilakukan pembenahan redaksi dengan bahasa umum.
‘’Redaksionalnya kita rubah menjadi MHA Dayak dan MHA Tidung. Tidak menampilkan secara rinci sub sukunya, agar jika di kemudian hari terjadi peristiwa yang sama, acuannya pada Suku Dayak, atau pada Suku Tidung secara umum,’’ jelasnya.
Hendrawan berharap, kebijakan dan revisi Perda MHA, memuaskan semua pihak, dan segera membuat potensi keributan yang pernah terjadi sebelumnya tidak perlu terulang.
Bagaimanapun, semua suku adalah anak bangsa dan sudah seyogyanya menjaga persatuan dan kesatuan.
‘’Semoga hasilnya nanti bisa memuaskan semua pihak,’’ kata Hendrawan.
Sebelumnya, wacana revisi Perda Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Nunukan, terus menuai kontroversi.
Perda ini, sempat memicu protes suku Dayak Tenggalan yang mendatangi DPRD Nunukan pada Senin (6/3/2023) lalu.
Suku Dayak Tenggalan, membentangkan spanduk dengan logo Dayak Tenggalan, bertuliskan kode yang menjadi legalitas suku Dayak Tenggalan dengan nomor 60283, dan kode bahasa 03050.
Sejumlah diorama foto yang menggambarkan sejarah panjang Dayak Tenggalan, juga ditampilkan dalam spanduk tersebut.
Namun, Perda Nomor 6 Tahun 2018 tidak mengakomodir atau tidak mengakui eksistensi Dayak Tenggalan.
Imbasnya, Suku Dayak Tenggalan memberi waktu dua pekan untuk memasukkan nama Tenggalan dalam Perda tersebut.
Aksi inipun kembali memantik protes dari suku Dayak Agabag. Mereka juga mendatangi DPRD Nunukan, Senin (27/3/2023).
Para tokoh Dayak Agabag, meminta Pemda dan DPRD Nunukan mempertimbangkan revisi Perda dimaksud. (Dzulviqor)
