NUNUKAN – Limbah botol bekas pelampung rumput laut disebut salah satu faktor pencemaran laut yang dapat membahayakan ekosistem di perairan Nunukan, Kalimantan Utara.
Menanggapi itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Nunukan, Suhadi, mengatakan persoalan rumput laut di Kabupaten Nunukan, memang menjadi hal yang dilematis.
Sebab, disatu sisi budi daya rumput laut merupakan salah satu komoditas yang menggerakkan ekonomi rakyat, tapi disisi lain dampak limbah yang dihasilkan akan mengancam ekosistem laut.
‘’Memang seharusnya ada perhatian khusus untuk efek dari mudahnya budi daya rumput laut di Nunukan. Perkara limbah yang dihasilkan, perlu digaris bawahi,’’ ujar Suhadi saat dikonfirmasi Kamis (18/8).
Menurut catatan DKP Nunukan, budi daya rumput laut, menghasilkan 25 ton limbah botol bekas dalam sekali siklus panen.
‘’Sampah menjadi ancaman ekosistem dan akan mengganggu biota laut dan lingkungan. Itu juga harus segera disikapi,’’ katanya.
Dia berharap, pengusaha rumput laut terutama asosiasi pedagang juga dapat memikirkan masalah limbah, agar tidak semata berkutat pada kualitas kekeringan dan harga.
‘’Pengusaha rumput laut, sebaiknya berpikir untuk mengalokasikan sebagian keuntungan kecil mereka bagi pembudi daya. Contohnya, memberikan bantuan pelampung HDPE (High-Density Polyethylene), agar mengurangi limbah botol bekas,’’ katanya lagi.
Hal lain yang harus menjadi perhatian, bagaimana budi daya rumput laut ditertibkan melalui mekanisme perijinan.
Kewenangan tersebut berada pada DKP Provinsi.
‘’Sebenarnya kalau perijinan bisa dimainkan bisa enak. Dimainkan dalam artian, Kabupaten punya kewenangan memperpanjang ijin, nanti dilihat bagaimana limbahnya, solusinya apa. Tapi nyatanya ijin tidak ada, pengawasan juga nihil. Akhirnya masalah tidak pernah selesai,’’ katanya. (Dzulviqor)
