NUNUKAN – Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalimantan Utara, Rukhi Sayahdin, mengakui adanya potensi gesekan di laut akibat jalur pelayaran yang tertutup rumput laut.
Sehingga salah satu solusi yang mendesak dilakukan adalah penetapan zonasi budidaya rumput laut.
Namun demikian, penetapan itu seringkali terkendala oleh munculnya undang-undang baru yang membuyarkan konsep DKP yang sebelumnya mengacu pada undang-undang yang lama.
‘Historinya budidaya rumput laut di Kaltara mulai berkembang 2010. Saat itu belum ada otonomi daerah dan kewenangan kelautan dan perikanan masih ada di Kabupaten. Begitu muncul UU otonomi daerah Nomor 23 Tahun 2014, yang menarik kewenangan tersebut ke Pemerintah Provinsi, regulasi mulai berubah,’’ ujarnya, Kamis (11/8/).
Rukhi melanjutkan, tahun 2014 adalah tahun pertama Pemerintahan Kaltara berjalan. OPD baru terbentuk dan harus meramu ulang regulasi rumput laut.
Saat itu, pemetaan dan strategi kembali dirubah dan diperbaharui, sampai akhirnya muncul Perda Nomor 4 Tahun 2018, tentang zonasi budidaya rumput laut, pemanfaatan ruang laut, kegiatan pengawasan perikanan, dan lain-lain menjadi kewenangan Provinsi.
Namun baru saja diimplementasikan ke masyarakat, aturan kembali berubah karena munculnya regulasi baru, yakni Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020, yang merupakan turunan dari PP 21 Tahun 2021.
Undang Undang Cipta Kerja ini membuat lingkup kerja dan regulasi juga ikut berubah, karena adanya Persetujuan Kesesuaian kegiatan Pemanfaatkan Ruang Laut (PKKPRL).
‘’Jadi setiap sambil jalan kita lakukan pembenahan, muncul regulasi dan undang undang berbeda. Akhirnya kondisi yang sudah carut marut semakin acak acakan. Saat ini situasi cukup genting dan dalam waktu dekat, DKP segera turun ke Nunukan,’’ kata Rukhi.
Menurutnya, potensi konflik tidak hanya sebatas di pembudidaya dan pengusaha kapal. Ada potensi lain yang juga perlu diwaspadai, yaitu potensi konflik antara pembudidaya dan pemukat rumput laut.
Selain itu, zonasi rumput laut juga menutup zonasi perikanan tangkap, kualitas panen rendah yang bisa menjadi ancaman blacklist dari buyer, dan banyak hal yang menjadi PR DKP Kaltara.
Dia menegaskan, dari sejumlah potensi konflik tersebut, DKP akan segera membenahi alur pelayaran.
Hal tersebut merupakan skala prioritas, karena prinsipnya, jalur pelayaran tidak boleh terganggu.
‘’Kami sudah melakukan pertemuan dengan stake holder membuka kembali jalur yang tertutup. Kami sebentar lagi akan action dengan dasar SE Gubernur. Kendala alur pelayaran yang tertutup rumput laut juga terjadi di Tarakan, di Pulau Bunyu,’’ imbuhnya.
Dia menyebut, DKP akan memasang buoy di sejumlah titik yang sudah ditentukan dalam zonasi budidaya.
Dengan demikian, akan ada sikap tegas bagi pemilik pondasi rumput laut di luar zonasi., entah itu pembongkaran paksa atau dibongkar sendiri oleh pemiliknya.
‘’Tapi kita akan beri toleransi, mungkin dua kali siklus panen, baru ada sikap tegas itu, mohon siap dengan konsekuensinya. Terus terang, untuk pengawasan pembuatan pondasi, DKP tidak mungkin bisa awasi. Kita tidak tahu siapa orangnya dan kapan. Beda halnya dengan kasus trawl Malaysia masuk, kita akan tangkap dan semua dalam pantauan,’’ tegasnya.
Untuk menghindari tindakan tegas, dia menyarankan agar para pembudidaya berkoordinasi dengan DKP setempat untuk meminta petunjuk area zonasi budidaya.
‘’Kasihan kapal-kapal yang ke Nunukan atau berlayar dari Nunukan. Setengah mati mereka cari jalur yang tidak ada rumput lautnya. Ini sangat rawan gesekan,’’ pungkasnya. (Dzulviqor)
