NUNUKAN – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nunukan, Kalimantan Utara, mencatat, sepanjang 25 Km garis pantai di Pulau Sebatik, tergerus abrasi.
Kasubid Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Nunukan, Mulyadi, mengatakan, setiap tahun, garis pantai Pulau Sebatik bergeser 5 sampai 6 meter.
‘’Dan tahun 2023, BPBD menghitung abrasi sudah menggerus garis pantai Pulau Sebatik, sepanjang 25 Km,’’ ujarnya, Rabu (31/5/2023).
Mulyadi menegaskan, abrasi yang terus terjadi di Pulau Sebatik, menjadi ancaman kedaulatan Negara, karena berkaitan erat dengan garis batas Negara.
Pulau Sebatik yang merupakan wilayah perbatasan RI – Malaysia, harus menjadi fokus perhatian pemangku kebijakan di pusat, sehingga persoalan abrasi yang terus menerus mengikis garis batas Negara, bisa segera terselesaikan.
Pada Februari 2020, BPBD Nunukan mencatat, abrasi menggerus sekitar 969 hektar di sepanjang pantai pulau Sebatik.
Ada 4 kecamatan di Pulau Sebatik yang terdampak, masing masing Kecamatan Sebatik Timur dengan luasan 120 hektar, Kecamatan Sebatik Induk seluas 357 hektar, Kecamatan Sebatik Barat seluas 416 hektar, dan Kecamatan Sebatik Utara, seluas 76 hektar.
Selain itu, sebanyak empat belas unit rumah, satu bangunan posyandu, satu musalah, beberapa titik jalan desa, dan satu jembatan pos Marinir rusak parah akibat abrasi di 4 lokasi tersebut.
Sementara, data terbaru yang dicatat BPBD Nunukan, penambahan abrasi terjadi di Kecamatan Sebatik Induk dan Kecamatan Sebatik Timur.
Di Sebatik Induk, abrasi terus menggerus Desa Padaidi, dengan kerusakan seluas 2,68 Km, Desa Sei Manurung, seluas 2,67 Km, Desa Tanjung Karang, seluas 6,42 Km, dan Desa Balansiku, seluas 5,37 Km.
Sementara di Kecamatan Sebatik Timur, abrasi meluas di Desa Tanjung Aru, dengan luasan sekitar 1,56 Km, Desa Bukit Aru Indah, seluas 1,05 Km, Desa Tanjung Harapan, seluas 908,74 meter, dan Desa Sei Nyamuk, seluas 3,87 Km.
Mulyadi juga menegaskan, BPBD Nunukan telah beberapa kali mengirimkan proposal berisi penanggulangan abrasi ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Ia mencontohkan, pada Februari 2020, BPBD mengajukan usulan anggaran rekonstruksi dan rehabilitasi sebesar Rp 96,6 miliar.
Anggaran tersebut untuk usulan kegiatan pembangunan penahan gelombang, pembuatan siring pantai, pemecah ombak, penanaman rumput lamun dan reboisasi hutan mangrove.
‘’Sayangnya waktu itu anggaran digeser untuk penanggulangan kegempaan di Sulut. Kita ajukan lagi anggaran pada 2022, dengan besaran Rp 19 miliar, dengan item kegiatan yang sama. Mulai pembangunan siring pantai sampai penanaman rumput lamun,’’ katanya lagi.
Mulyadi menambahkan, proposal tersebut, sudah menjadi pembahasan BNPB. Pemkab Nunukan diminta juga untuk memasukkan kajian dampak sosial terhadap warga sekitar dan mengkalkulasi kerugian bagi para nelayan di wilayah abrasi.
‘’Penyebab abrasi masih sama dari tahun ke tahun. Yaitu gelombang ekstrim dan ulah manusia yang masih melakukan penambangan pasir ilegal. Kami berharap penertiban aturan penambangan galian C,’’ kata Mulyadi. (Dzulviqor)
