NUNUKAN – Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Nunukan, Kalimantan Utara, mengamankan tiga badut jalanan yang kerap beraksi beraksi di lampu merah, warung-warung makan dan alun-alun Nunukan, Kalimantan Utara, Selasa (1/8/2023).
Dari tiga badut jalanan yang diamankan itu, dua diantaranya merupakan anak di bawah umur yang berusia 7 dan 10 tahun.
‘’Dari penyelidikan kita, dua anak ini ternyata dititip orang tuanya ke S (42). Memang mereka diminta memakai kostum badut dengan tampilan kartun anak anak, dan mendapat uang dari aktivitas tersebut,’’ ujar Kanit PPA Polres Nunukan, Ipda Marta Nuka, saat ditemui.
Dari pengakuan kedua bocah malang tersebut, mereka mengaku tertarik menjadi badut saat melihat pertunjukan S, di sebuah even expo yang digelar di Pulau Sebatik, beberapa bulan lalu.
Ketertarikan tersebut, memberanikan diri mereka untuk meminta izin kepada S agar diperkenankan memakai kostum badut.
‘’Izinlah S ini ke orang tua dua anak ini. Dan orang tuanya juga mengizinkan anaknya ikut S bekerja sebagai badut,’’ kata Marta.
Sejak itu, S kerap mengajak kedua bocah yang baru direkrutnya sekitar dua bulan terakhir ini, mengamen di Kota Tarakan, sampai Kabupaten Malinau.
Pengakuan S, ia bisa memperoleh omset hampir sejuta dalam sepekan.
‘’Kedua bocah badut bisa menghasilkan Rp. 300.000 sampai Rp 400.000 perorang dalam seminggu. Hasil tersebut, dibagi sebagian untuk orang tua si anak, dan sebagian untuk memenuhi kebutuhan dirinya bersama kedua bocah pengamen badut,’’ imbuhnya.
Menurut Marta, aksi ini bisa menjurus pada eksploitasi anak. Terlebih, kedua bocah yang merupakan kakak beradik tersebut, belum mengerti Calistung karena tidak sekolah.
Keduanya, hanya tahu mencari uang lewat kostum badutnya.
Faktor ekonomi keluarga kedua anak tersebut, menjadi alasan atas kondisi yang terjadi.
Marta melanjutkan, keluarga kedua bocah tersebut, berasal dari Kota Tarakan. Ayahnya bekerja sebagai pemukat rumput laut, sementara ibunya hanya di rumah mengurus anak bungsunya yang masih menyusu.
‘’Keluarganya baru delapan bulan pindah dari Tarakan. Mereka tertarik kerja rumput laut, dan tinggal di Sebatik,’’ kata Marta.
Penghasilan kedua orang tua si bocah yang tidak seberapa, hanya cukup untuk makan sehari hari, dan untuk keperluan si bayi.
Selain itu, anak anak mereka tidak masuk sekolah, karena terkendala persoalan administrasi/kelengkapan data kependudukan.
‘’Keluarga mereka memiliki tujuh anak. Anak pertama dan kedua juga sudah bekerja di luar kota. Dengan kondisi ekonomi yang terbilang kurang mampu, si ibu mengizinkan anak ke empat dan kelimanya, dibawa S untuk bekerja. Si Ibu juga baru tahu kalau anak-anak tidak boleh dipekerjakan seperti itu,’’ jelasnya.
Lanjut Marta, S mengaku tidak bermaksud memanfaatkan kedua bocah tersebut untuk mengeruk keuntungan.
Alasannya, S juga bekerja sebagai badut penghibur, dan membagikan penghasilannya kepada keluarga dua bocah yang dititipkan padanya.
‘’Kita sudah selidiki juga, tidak ada indikasi pedofilia dan sebagainya. Tindakan S, murni karena ingin membantu keluarga anak-anak tersebut meski caranya salah karena terkesan mengeksploitasi anak dibawah umur,’’ jelasnya.
Melihat kompleknya kasus ini, Polisi kemudian meminta S dan ibu kedua anak pengamen badut, untuk membuat pernyataan agar tidak melanjutkan apa yang mereka lakukan.
Orang tua anak, tidak boleh mengizinkan anaknya bekerja mencari uang sebagai badut di jalanan, begitu juga S, dilarang mempekerjakan keduanya, apapun alasannya.
Pernyataan tersebut, dibuktikan dengan surat yang ditandatangani keduanya.
‘’Kita sudah koordinasi dengan Dinas Sosial. Hasilnya Dinas akan segera mengurus sekolah keduanya. Pilihannya ada dua, kalau tidak di Yayasan Ruhama, akan dimasukkan Ponpes Hidayatullah. Tapi harus melalui asessmen dulu. Kita segera serahkan keduanya ke Dinsos,’’ tutup Marta. (Dzulviqor)
