NUNUKAN – Masyarakat RT. 02 Desa Setabu, Kecamatan Sebatik Barat, Nunukan, dituding melakukan pembalakan / perusakan tanaman mangrove yang mengancam kelestarian ekosistem di wilayah pesisir di perbatasan RI – Malaysia.
Menyikapi tudingan itu, pemilik lahan, Agus, menegaskan, lahan yang sedang dikeruk dan digarap oleh ekscavator tersebut, memiliki legalitas kepemilikan yang sah berupa SPPT.
‘’Lahan ini, murni milik masyarakat, bukan milik pemerintah, apalagi kawasan konservasi mangrove. Silahkan turun lapangan dan lihat sendiri, apakah ada kawasan konservasi mangrove yang dilanggar,’’ ujar Agus, ditemui, Rabu (8/2/2023).
Agus juga menunjukkan bukti kepemilikan lahan, dengan Surat Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT) atas nama Rahim Bin Patcin, yang merupakan orang tua kandungnya.
Dalam SPPT yang diterbitkan di Setabu pada 15 Januari 1985 tersebut, tercantum luasan berukuran panjang 200 meter dan lebar 100 meter.
‘’Tanah kami tersisa 84 x 150 meter saja, karena sebagian masuk kawasan konservasi mangrove. Sementara lahan yang akan kita jadikan sungai adalah 130 x 55 meter. Dan ini adalah lahan kami, bukan lahan pemerintah,’’ tegasnya.
Agus dan masyarakat sekitar mengatakan, niat mereka membuka sodetan untuk jalur sungai, semata agar masyarakat bisa membawa hasil panen runput lautnya ke areal pemukiman penduduk.
Selain itu, areal yang digarap, dulunya merupakan pangkalan nelayan, dan memiliki jalur sungai kecil juga jalan setapak yang sudah lama tidak digunakan, sampai akhirnya penuh ditumbuhi pohon nipah.
‘’Rencana membuat sungai ini adalah untuk kepentingan masyarakat, kami sudah izin Kepala Desa juga. Akhirnya saya meminta bantuan pemilik alat berat untuk membuka jalur. Mengapa ini diributkan dan dilarang?’’ tanyanya.
Agus juga sangat tahu dan sadar, lahannya berbatasan dengan kawasan konservasi mangrove. Terlihat patok patok semen sebagai penanda di sekitar sungai sungai yang masih aktif di lokasi tersebut.
‘’Saya tegaskan, lahan yang dikerja sekarang oleh escavator adalah lahan bekas tambak yang merupakan warisan orang tua kami yang merupakan masyarakat asli Tidung dan sebagai orang tempatan di Mantikas Tidung sejak lama,’’ lanjutnya.
Agus dan warga sekitar mengaku heran, saat pekerjaan mereka seakan dilarang dan dikesankan membalak mangrove.
‘’Kita lihat sendiri bahwa lahan ini adalah lahan nipah, bukan mangrove. Seharusnya pemerintah jangan tau menyalahkan kami masyarakat kecil, tapi seharusnya memberi solusi.’’ sesalnya.
‘’Kalau kami dilarang, bagaimana dengan nasib 80 hektar di Binusan yang jelas ada pohon mangrovenya?’’ kata Agus. (Dzulviqor)
