NUNUKAN – Pemerintah Kabupaten Nunukan, menggandeng International Organization for Migran (IOM), untuk membahas Standard Operating Procedure (SOP)penanganan WNI yang terindikasi sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Hal itu dilakukan guna membahas langkah-langkah yang harus ditempuh agar penanganan terhadap korban TPPO bisa lebih terarah.
‘’Itu kenapa kita rumuskan penanganannya, siapa yang akan menjamin keamanannya, siapa yang bertugas mendampingi, mengedukasi dan mencoba mengorek kisah mereka sebagai korban TPPO,” ujar Faridah Aryani, Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSP3A) Nunukan, Kamis (9/6).
Faridah mengatakan, pembahasan SOP TPPO juga dibarengi dengan pembentukan Satgas Terpadu, yang melibatkan TNI Polri, Kejaksaan, DSP3A, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), dan Satpol PP.
‘’Kita libatkan International Organization for Migran (IOM). Isi dari SOP mengadopsi skema Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Nomor 8 Tahun 2019,’’ kata Faridah.
Dia menjelaskan, ada lima bagian tugas yang diatur sebagai acuan SOP dalam penanganan indikasi TPPO, yakni :
1. Sub gugus tugas pencegahan,
2. Sub gugus tugas koordinasi dan kerjasama,
3. Sub gugus tugas rehabilitasi kesehatan,
4. Sub gugus tugas rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial,
5. Serta Sub gugus tugas penegakan dan pengembangan hukum.
‘’Outputnya nanti mungkin dalam bentuk SK Bupati atau bentuk lain, dengan bentuk penanganan lebih spesifik. Sebenarnya TPPO sudah ada Perdanya di Nunukan, yaitu Perda Nomor 16 Tahun 2015. Sementara untuk Perda Perlindungan Perempuan dan Anak, diperdakan dengan Nomor 17 Tahun 2015,’’jelasnya.
‘
Menurut data Pemkab Nunukan, tercatat ada 13 indikasi TPPO yang terjadi sepanjang tahun 2019 – 2021 lalu, dengan rincian 9 kasus pada tahun 2019 dan 4 kasus pada tahun 2021.
Namun penanganan terhadap mereka tidak dapat berjalan maksimal karena korban TPPO sebagian besar merasa takut dan bersikap tertutup.
“Mereka takut petugas dan takut jika kasusnya terekspose akan malu, kita harus punya cara khusus untuk bisa membuat korban bersuara karena ini adalah tindak kejahatan kemanusiaan,’’tegas Faridah. (Dzulviqor)
