NUNUKAN – Penegakan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang belakangan dilakukan Satgas TPPO Mabes Polri, di Nunukan, Kalimantan Utara, membuat penghasilan masyarakat perbatasan RI – Malaysia yang selama ini bergantung pada kedatangan CTKI, anjlok dan menurun drastis.
Keluhan tersebut, disampaikan kepada anggota DPRD Nunukan, dan menjadi pertanyaan dalam forum rapat dengar pendapat (RDP) yang membahas solusi dan antisipasi TPPO, yang digelar di ruang Ambalat, gedung DPRD Nunukan, Selasa (18/7/2023) lalu.
‘’Saya menyampaikan amanah warga kami yang selama ini bekerja sebagai motoris dan tukang kapal. Masyarakat takut masuk Sebatik karena pemeriksaan aparat sangat ketat,’’ ujar Ketua Komisi 3 DPRD Nunukan, Hamsing.
Akibat ketatnya penjagaan dan intensnya pemeriksaan terhadap WNI dengan KTP luar Nunukan, bahkan motoris tidak berani mengangkut calon penumpang dengan kategori dimaksud.
‘’Maksud saya, ini kenapa sampai seperti ini. Masyarakat mencari ekonomi tapi gerak geriknya dibatasi, Sebatik kan Indonesia juga, ini yang jadi persoalan,’’ tambahnya.
Anggota DPRD lainnya, Adama, juga mempertanyakan mengapa ada warga Nunukan yang menjual jasa penyeberangan juga diproses dengan jerat hukum TPPO.
Meski pada faktanya, mereka tidak memilah dan menyeleksi apakah yang mereka seberangkan ke Malaysia adalah CTKI atau warga biasa.
‘’Penyeberangan tradisional ini terjadi bertahun tahun, dari zaman dulu. Dan masyarakat kita hanya sebatas menyeberangkan, mereka bukan pengurus atau PJTKI. Kenapa dijerat dengan pasal TPPO,’’ tanya Adama.
Dan masalah yang tidak kalah serius, adalah, Konsulat RI di Malaysia juga membuatkan paspor para TKI, namun ternyata, paspor tersebut tidak terkoneksi dengan Imigrasi, sehingga status mereka dipertanyakan bahkan tetap dianggap ilegal.
‘’Kenapa harus Nunukan yang terkena imbas masalah TKI. Kenapa di Tawau, di Malaysia sana tidak diperbaiki juga, minimal jangan menerbitkan atau memperpanjang paspor kalau ternyata TKI kita tetap ilegal meski punya paspor keluaran konsul,’’ sesalnya.
Respons Polisi
Kasat Reskrim Polres Nunukan, AKP Lusgi Simanungkalit, menegaskan, dalam perspektif hukum, segala tindak ilegal tentu memiliki konsekuensinya masing masing. Dan dalam konteks penempatan pekerja migran, dasar aturannya sangat jelas, di pasal 69 ‘bahwa setiap orang, dilarang menempatkan pekerja migran’.
Lusgi menjelaskan, polisi tidak pernah mempersulit warga masuk Pulau Sebatik. Terlebih lagi, masyarakat di sejumlah pelabuhan tradisional sudah sangat hapal, siapa saja yang sering bolak balik Sebatik, entah itu penjual, pengusaha atau warga yang berkunjung biasa.
‘’Yang terjadi, hampir setiap kali kedatangan kapal dari Sulawesi, saya pastikan di dermaga tradisional seperti Haji Putri, selalu ramai. Saya pastikan 70 persennya itu CTKI,’’ jawab Lusgi.
Para CTKI tersebut,memang selalu menyeberang ke Pulau Sebatik yang masih merupakan wilayah Indonesia, namun harus dipahami juga, Sebatik memiliki perbatasan laut dan darat dengan Malaysia.
‘’Memang Sebatik masih Indonesia, tapi tinggal berjalan sedikit saja sudah masuk Malaysia. Jadi yang kami lakukan bukan menghalangi warga kita bekerja di luar negeri. Tetapi mencegah mereka dieksploitasi karena status mereka yang ilegal,’’ tegas Lusgi.
Kasus TKI dieksploitasi demikian banyaknya. Salah satu contoh, para TKI digaji RM 1500 oleh majikan. Mungkin angka tersebut dianggap besar, tapi faktanya, nominal tersebut jauh di bawah standar penggajian Malaysia.
Saat TKI tahu gajinya kecil, mereka ribut dan menuntut perusahaan. Yang terjadi, pihak perusahaan menghubungi Polis Diraja Malaysia, untuk menangkap pekerjanya yang ilegal, dan mencari pekerja baru dengan status yang sama.
Contoh kasus lain, adalah, TKI yang dipekerjakan di kapal laut. Mereka diperah tenaganya tanpa boleh keluar kapal. Mereka dikurung dalam kapal, bahkan saat kapal sandar di dermaga. Ketika ada yang meninggal, jasad mereka dibuang begitu saja ke tengah laut.
‘’Jangan heran kalau kita agak keras sedikit, karena kami pun kasihan dengan warga kita. Mungkin mereka terpaksa ke luar negeri karena tidak punya pekerjaan di kampung halaman, terbentur ekonomi dan harus menghidupi anak istrinya,’’ kata Lusgi.
Kanit Reskrim Polres Nunukan, Aiptu Ali Murtaji, menambahkan, kasus TPPO sudah terjadi sekian lama, bahkan sejak Kabupaten Nunukan mulai terbentuk. Data Polres Nunukan mencatat, pada 2003, ada 40 WNI asal Surabaya, Bandung dan NTT, dipekerjakan sebagai PSK, dan berhasil dipulangkan.
Disisi lain, tidak sedikit WNI yang sejak dulu tinggal dan menetap di Malaysia, dan beberapa dari mereka bahkan sudah lupa dimana kampung halamannya di Indonesia. Keberadaan ini yang sering dijadikan CTKI ilegal beralasan masuk Malaysia untuk mengunjungi saudara dan sebagainya.
Sejauh ini, para tersangka TPPO yang diamankan kebanyakan dari luar Nunukan, seperti Kendari, dan wilayah lain di Sulawesi.
‘’Itupun yang kami amankan adalah perekrut, calo dan pengurus. CTKI tidak ada yang kami amankan,’’ jawabnya.
Tentu saja, sebelum menetapkan tersangka, polisi melalui prosedur penyelidikan, investigasi, dan penyidikan. Para tersangka juga telah mengaku mereka melakukan perekrutan di kampung halaman para CTKI.
Para calon pekerja diberi uang saku Rp. 500.000 selama di kapal, dijanjikan tambahan uang setelah sampai di Nunukan, yang sumber uangnya berasal dari bos yang akan mempekerjakan mereka di Malaysia.
‘’Pengurus ini diberi uang RM. 3000 untuk satu orang, kalau dirupiahkan sekitar Rp 10 juta lebih. Tapi yang dikasih ke CTKI hanya Rp 500.000. Bayangkan berapa keuntungan calo kalau berhasil merekrut puluhan orang,’’ kata Ali.
Selain itu, semua orang juga bisa melihat sendiri, bagaimana kondisi ekonomi para pengurus TKI tersebut. Di Nunukan saja, tidak ada satu pun pengurus TKI yang rumahnya sederhana. Semua memiliki rumah gedongan.
‘’Coba saja tunjukkan, siapa di Nunukan yang pengurus TKI tapi rumahnya kecil. Pasti rumahnya besar besar semua,’’ sebut Ali.
Polisi juga meminta agar perkara ini menjadi perhatian semua pihak. Selayaknya Pemkab Nunukan dan stake holder bisa memfasilitasi perusahaan P3MI, lalu menjaring para calo dan mengedukasi mereka untuk menempuh jalur legal. (Dzulviqor)
