NUNUKAN, KALIMANTAN UTARA – Angka kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Kabupaten Nunukan menunjukkan penurunan signifikan di tahun 2025.
Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Nunukan memaparkan tren positif ini, meski di balik optimisme tersebut, tersimpan ancaman serius yang memerlukan perhatian ekstra.
Dalam lima tahun terakhir, grafik kasus HIV di Nunukan memang berfluktuasi. Pada tahun 2020 dan 2021, tercatat 19 kasus. Jumlah ini melonjak menjadi 31 kasus di tahun 2022, bahkan mencapai puncaknya dengan 42 kasus di tahun 2023.
Namun, upaya serius mulai membuahkan hasil. Tahun 2024, kasus turun menjadi 36, dan di periode Januari-Mei 2025, hanya 8 kasus baru yang terdeteksi.
Kasus-kasus ini tersebar di Nunukan Selatan (5 kasus), Nunukan Timur (2 kasus), dan Sebuku (1 kasus).
“Angka kami turun drastis dibanding tahun 2024. Dari 36 kasus kini menjadi 8 kasus, dan semua pasien sedang menjalani pengobatan intensif. Ini membuktikan penularan HIV dapat kita kendalikan berkat pengawasan dan upaya pengobatan yang tiada henti,” tegas Kepala Dinkes Nunukan, Miskia, saat ditemui Rabu (4/6/2025).
Miskia mengungkap, mayoritas pengidap HIV di Nunukan berada dalam usia produktif, dengan komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) mendominasi jumlah kasus.
Beberapa faktor utama yang mendorong penularan HIV di wilayah ini meliputi mobilitas pekerja seks komersial (PSK) yang keluar masuk Nunukan, pergaulan bebas remaja yang semakin mengkhawatirkan dengan banyak remaja terjerumus pada layanan seks instan demi uang atau demi eksistensi sosial, komunitas penyuka sesama jenis, serta kasus suami yang ‘jajan’ di luar dan kemudian menularkan HIV kepada istrinya.
Akan tetapi, lanjut Miskia, di balik data penurunan kasus, tersimpan ironi dan kekhawatiran besar.
“Secara data memang kasusnya turun, tapi faktanya, kami masih kesulitan luar biasa dalam melakukan skrining pada anak-anak remaja kita,” keluh Miskia.
Dinkes telah berupaya gencar melakukan skrining di sekolah-sekolah, namun sering kali berhadapan dengan penolakan, terutama dari remaja putri.
Hal yang lebih mengejutkan dan memprihatinkan, dari hasil wawancara dan kunjungan lapangan, Miskia mengungkap bahwa remaja Nunukan ternyata aktif menggunakan aplikasi khusus untuk pemesanan layanan seks.
“Ini sangat memprihatinkan. Inilah ‘gunung es’ yang kami khawatirkan; kasus yang belum terdeteksi dan berpotensi memicu lonjakan HIV di masa depan jika tidak segera ditangani,” tegas Miskia.
Dinkes Nunukan melayangkan seruan mendesak kepada para orang tua untuk benar-benar memperketat pengawasan dan memantau pergaulan anak-anak mereka.
Jangan biarkan pergaulan yang keliru justru menyeret mereka pada penyesalan seumur hidup, aib keluarga, dan risiko terjerumus hingga tahap HIV/AIDS.
“Area terpusat seperti lokalisasi lebih mudah kami pantau karena terorganisir. Yang paling kami khawatirkan adalah mereka yang bergerak secara mandiri, di dunia digital, dan tidak pernah mau memeriksakan diri di fasilitas kesehatan,” pungkas Miskia, menggarisbawahi urgensi kesadaran dan tindakan proaktif dari semua pihak untuk menjaga generasi muda Nunukan. (Dzulviqor)
