NUNUKAN, KN – Bau antiseptik menusuk hidung. Di sebuah bangsal anak yang dipenuhi tangis lirih, seorang ibu tak henti-hentinya mengusap kening putrinya. Bocah tiga tahun itu tak lagi ceria, tak lagi berlari. Di kepalanya, ada sebuah nama yang terasa begitu polos, namun menyimpan trauma paling dalam, yakni Om Ayam. Nama itu adalah MJ, seorang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang kini menjadi sorotan di Nunukan, Kalimantan Utara.
Kisah ini bermula dari jeritan sakit seorang bocah saat buang air kecil. Sang ibu awalnya menganggapnya sepele. Namun, saat demam tinggi menyerang dan putrinya dilarikan ke puskesmas, kasus ini terungkap.
Dalam polosnya, si kecil menunjuk Om Ayam sebagai sosok yang membuatnya sakit. Diagnosis dokter menunjukkan infeksi, sementara hasil pemeriksaan psikolog dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nunukan mengonfirmasi, bocah itu mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), trauma mendalam yang konsisten dengan korban kekerasan seksual.
Misteri Berkas P19
Namun, di mata hukum, diagnosis medis dan trauma mendalam itu belum cukup. Butuh lebih dari sekadar laporan untuk menjerat “Om Ayam” ke balik jeruji.
Kami menghubungi Kasat Reskrim Polres Nunukan, AKP Wisnu Bramantyo. Suaranya terdengar datar saat mengonfirmasi kabar yang beredar. “Masa penahanannya selesai, tapi berkas perkaranya masih P19. Jadi MJ bebas demi hukum,” katanya.
P19, sebuah istilah hukum yang asing bagi banyak orang, adalah alasan di balik kebebasan tersangka.
Wisnu menambahkan, “Meski bebas, perkaranya tetap jalan. Kami mengawasinya ketat.”
Dua Lubang dalam Kasus
Jawaban itu memicu lebih banyak pertanyaan. Mengapa berkasnya tidak lengkap? Kami mencari penjelasan dari Kejaksaan Negeri Nunukan. Kasi Intel Kejari Nunukan, Angga Bramantyo, menjelaskan, mereka menemukan dua “lubang” besar dalam berkas yang kembali ke penyidik.
”Terkait visum et repertum,” jelas Angga. “Visum sudah ada, namun kami menemukan ketidaksesuaian dengan alat bukti lain. Kami butuh keterangan ahli tambahan.”
Ia melanjutkan, “Terkait psikolog. Kami memang telah memeriksa dengan ahli, namun belum mengidentifikasi lebih lanjut hasil pemeriksaan itu.”
Di Balik Sinar Keadilan yang Redup
Di balik kalimat-kalimat teknis itu, tersembunyi sebuah kenyataan pahit. Ternyata untuk seorang balita, bukti yang sudah ada—tangis, trauma, dan hasil diagnosis—masih dianggap belum cukup kuat untuk menjerat pelaku.
Hukum menuntut lebih dari itu.
Di Nunukan, cerita tentang Om Ayam bukan dongeng. Ia adalah kisah nyata tentang keadilan yang terasa begitu lambat.
Seorang bocah harus menanggung trauma mendalam, sementara orang yang diduga pelakunya bebas.
Asas hukum pidana menyatakan, “Pembuktian harus lebih terang dari sinar matahari.”
Namun bagi si ibu dan putrinya, bayang-bayang Om Ayam masih begitu gelap dan menyakitkan.
Di Nunukan, di bawah mentari yang terik, keadilan masih tersembunyi di balik kabut tebal birokrasi dan selembar berkas P19.
Seberapa terang lagi sinar matahari yang harus kita dapatkan agar keadilan benar-benar terlihat?
![]()







































