Penulis : Jahari (Tokoh Pemuda Dayak Agabag, Kecamatan Sembakung, Nunukan)
Perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kalimantan menyimpan segudang cerita, tak terkecuali kisah tentang ambisi konektivitas yang telah bersemi sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu
Sebuah jalan yang melintasi belantara, menghubungkan kini dan nanti, sekaligus menyatukan mimpi lama dengan visi baru Ibu Kota Nusantara (IKN).
Jalan Mansalong-Labang, bukan sekadar urat nadi ekonomi dan pertahanan, melainkan monumen hidup dari sebuah perencanaan strategis yang merentang jauh ke masa kolonial.
Ketika Belanda Melirik Utara, Visi Strategis Fischer-Gramberg 1910
Siapa sangka, jauh sebelum Indonesia merdeka, urgensi pembangunan jalan penghubung antara wilayah Belanda (sekarang Kalimantan Utara, Indonesia) dan British North Borneo (Sabah, Malaysia) sudah mengemuka?
Adalah Fischer-Gramberg, seorang pelapor ulung, yang pada tahun 1910 dengan detail menuliskan pentingnya konektivitas ini dalam laporannya di halaman 297.
Dia menyoroti betapa strategisnya wilayah Kabudaya, Nunukan, Kalimantan Utara, sebagai simpul perdagangan, pemerintahan, dan pertahanan.
Sebuah visi yang mungkin terdengar futuristik pada masanya, namun menunjukkan betapa tajamnya pandangan kolonial terhadap potensi geografis di perbatasan.
Laporan ini bukan sekadar catatan biasa; ia menggambarkan sebuah perencanaan matang untuk jalur jalan yang membentang dari Mansalong-Labang-Bantul-Sepulut hingga Keningau dan Kota Kinabalu di Sabah. Sebuah “cetak biru” yang kini, seabad lebih kemudian, menemukan relevansinya kembali.
Labang, Titik Temu Dua Negara yang Terinspirasi Sejarah
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan terbentuknya Malaysia, semangat konektivitas ini kembali bergaung.
Dalam pertemuan Border Trade Agreement (BTA) dan Border Crossing Agreement (BCA) pada tahun 1968, nama Labang muncul dan ditetapkan sebagai jalur serta titik penghubung dan perlintasan resmi antara Indonesia dan Malaysia.
Sebuah keputusan yang sangat mungkin “terinspirasi” dari laporan Fischer-Gramberg tahun 1910.
Ini membuktikan bahwa ide-ide besar seringkali memiliki benang merah yang panjang, melampaui batas waktu dan rezim pemerintahan.
Lumbis, S.Sos., seorang pemerhati sejarah lokal, menyuarakan perspektif menarik tentang ini.
“Mimpi besar terhadap jalan Mansalong-Binter-Labang-Tau Lumbis, PLBN Labang-Bantul, mungkin saja juga merupakan mimpi para leluhur penghuni wilayah Kabudaya sejak 115 tahun yang lalu,” ujar Lumbis.
“Mereka menyampaikan aspirasi ini kepada pemerintah Belanda melalui Fischer-Gramberg untuk disampaikan kepada Batavia pada tahun 1910. Ini bukan hanya tentang infrastruktur, tapi tentang terwujudnya visi kolektif dari generasi ke generasi.” imbuhnya.
Dari Kesepakatan Hingga Wujud Nyata, PLBN Labang dan CIQS Bantul
Visi ini terus digulirkan dalam berbagai platform kerja sama bilateral, mulai dari General Border Committee (GBC), Joint Indonesia Malaysia Meeting (JIIM), Joint Working Group (JWG), Sosek Malindo, hingga pertemuan BTA dan BCA. Konsistensi dalam diplomasi dan negosiasi akhirnya membuahkan hasil signifikan.
Kesepakatan pun lahir, peningkatan taraf Pos Kawalan Imigresen Labang dan Bantul menjadi pintu exit and entry point secara internasional.
Sebagai tindak lanjut, Inpres Nomor 1 Tahun 2019 menetapkan pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Labang di Nunukan, Kalimantan Utara.
Tak mau ketinggalan, Malaysia pun bergerak cepat. Mereka mengalokasikan anggaran untuk membangun jalan dari Sepulut menuju tapak CIQS Bantul, dengan progres signifikan 24 KM jalan aspal/jalan raya sudah mencapai lokasi pembangunan CIQS Bantul.
Rencana anggaran pembangunan CIQS Bantul sendiri pun sudah masuk dalam belanjawan Malaysia.
Jalur penghubung vital ini, dengan jarak yang relatif singkat antara PLBN Labang dan tapak CIQS Bantul (hanya 419 meter), menjadi perhatian khusus dalam kesepakatan bilateral antara Presiden Indonesia dan Perdana Menteri Malaysia pada BTA dan BCA tahun 2023 di Kuala Lumpur.
Menyongsong Masa Depan, Jembatan Menuju IKN
Dengan jarak tempuh yang efisien (Kota Kinabalu-Pagalungan sekitar 3,5-4 jam, lalu Pagalungan-PLBN Labang hanya 30 menit), jalan ini tidak hanya menjadi jalur perdagangan dan pergerakan masyarakat, tetapi juga menjadi jembatan strategis yang akan memperkuat konektivitas antara Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan Sabah, Malaysia.
Ini adalah bukti nyata bagaimana visi strategis masa lalu, keinginan leluhur, dan komitmen bilateral masa kini berpadu untuk membangun masa depan yang lebih terhubung dan sejahtera.
Kisah jalan Mansalong-Labang adalah narasi tentang ketekunan, perencanaan visioner, dan persahabatan dua negara yang terus melangkah maju, mewujudkan mimpi yang telah lama dinanti. Indonesia dan Malaysia, bersambung.
