NUNUKAN, KN – Masyarakat Adat Suku Tidung di Nunukan, Kalimantan Utara, geram. Mereka menuntut ganti rugi Rp5 miliar kepada PT Mandiri Inti Perkasa (MIP). Aktivitas penambangan batu bara perusahaan dituding merusak lingkungan dan melenyapkan mata pencaharian adat. Keluhan utama: tiga sungai yang menjadi urat nadi kehidupan di Desa Pelaju, Tagul, dan Lubakan, Kecamatan Sembakung, kini longsor menutupnya.
Para tetua adat dan kepala desa menyampaikan pengaduan ini langsung dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Nunukan pada Senin (6/10/2025). Di samping itu, mereka menuding PT MIP telah lepas tangan, membiarkan lubang-lubang galian tambang menganga.
Kesaksian Mencekam: Sungai Mati dan Udara Beracun
Kerusakan akibat tambang PT MIP menghilangkan mata pencaharian masyarakat sejak 2024. Juru bicara adat Tidung, Rudi Hartono, menegaskan, tiga sungai longsor dan mengubur sumber kehidupan warga.
“Ada tiga sungai yang longsor. Itu menutup mata pencaharian kami sejak 2024. Perusahaan berdalih sudah mengerjakan normalisasi, namun demikian, faktanya, sampai hari ini belum tersentuh sama sekali,” ujar Rudi. Oleh karena itu, ia mengingatkan PT MIP agar bertanggung jawab penuh atas hasil bumi yang telah dikeruk di tanah adat.
Dampak lingkungan lain yang tak kalah parah menghasilkan pencemaran udara dahsyat. Wakil Ketua Adat Besar Suku Tidung Nunukan, Abdul Kadir, memberikan kesaksian mencekam tentang polusi udara di Desa Pelaju.
“Di meja depan rumah saya di Desa Pelaju itu, kalau dilap hitam itu lapnya. Kalau kita berjalan di lantai tanpa alas kaki, hitam kaki,” akunya.
Ia bahkan mengaku sakit-sakitan akibat polusi, sehingga membantah anggapan penyakitnya hanya karena faktor usia.
Tuntutan Rp5 Miliar dan Kesenjangan “Langit dan Bumi”
Efek domino yang terjadi di tengah Masyarakat Hukum Adat (MHA) Tidung Sembakung melayangkan angka tuntutan ganti rugi sebesar Rp5 miliar.
Dana tersebut dimaksudkan untuk menutupi kerugian sebagai berikut:
1. Banyaknya pohon bernilai ekonomi tinggi yang tumbang.
2. Hilangnya habitat buruan dan musnahnya daun-daunan obat.
3. Longsornya sungai yang menjadi jalur utama menjala ikan dan memanen madu.
Selain kerugian lingkungan, para tetua adat menyoroti kesenjangan mencolok antara kondisi MHA Tidung dengan para pekerja PT MIP.
“Demikian banyak jenis mobil bermerk datang dan pergi, sementara warga kami masih jalan kaki dan mendayung sampan. Mereka menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi, kami mengalami kesulitan akses pendidikan. Padahal tanah kami membuat mereka kaya,” jelas perwakilan adat.
Bantahan PT MIP: Kondisi Alam dan Kendala Batas Wilayah
General Manager PT MIP, Robert Boro, membalas tuntutan tersebut dengan meminta perhitungan detail mengenai angka Rp5 miliar.
Robert Boro secara tegas meragukan isu kerusakan dan longsor sungai murni disebabkan penambangan.
“Apakah sudah ada penelitian yang memastikan longsoran itu terjadi akibat penambangan? Sebab, menurut kami, itu kondisi alam,” jelasnya.
Di sisi lain, terkait normalisasi sungai yang mangkrak, PT MIP berdalih belum adanya penetapan batas resmi antara Kabupaten Tana Tidung (KTT) dan Kabupaten Nunukan menghambatnya. Alasan ini dinilai ironis, mengingat perusahaan telah beroperasi sejak 2004 dan mengantongi legalitas dan Amdal. Robert Boro menambahkan, kayu-kayu di sungai bukanlah pagar pembatas, melainkan dinding penahan dorongan tambang yang sesuai rekomendasi DLH Kaltara.
Sikap DPRD, Hentikan Dalih Hukum Formal, Utamakan Kemanusiaan
Ketua Komisi 3 DPRD Nunukan, Rian Antoni, yang memimpin rapat, langsung menepis alasan PT MIP. Pasalnya, ia menegaskan, segala jenis penambangan SDA sudah pasti menyebabkan penurunan kualitas lingkungan hidup.
Rian menekankan masalah batas wilayah tidak boleh dijadikan dalih untuk lari dari tanggung jawab. “Menyoal batas antara Nunukan dan KTT memang masih digodok. Akan tetapi, bukan berarti kita bisa abai. Ini masalah kehidupan, masalah perut,” kata Rian.
Oleh sebab itu, DPRD meminta PT MIP tidak hanya melihat masalah dari kacamata hukum formal, tetapi juga mempertimbangkan hukum adat yang menjadi landasan hidup MHA.
Sebagai langkah tindak lanjut, Rian menawarkan dua opsi penyelesaian: penyelesaian secara Bipartit (negosiasi langsung) atau DPRD akan menaikan kasus ini ke level Pansus.
“Kita turun lapangan dulu untuk melihat langsung masalah ini. Masih sangat terbuka jalan untuk negosiasi dengan MHA Adat,” pungkas Rian, memastikan DPRD Nunukan akan terus memantau kasus ini.(Dzulviqor)
