Penulis: Hendrawan R. Wijaya (Mahasiswa Universitas Hasanuddin, Makassar)
OPINI – Netralitas masih menjadi buah bibir bagi Aaparatur Sipil Negara (ASN), terutama menjelang pilkada. Betapa tidak, tubuh politik ASN kerap dilema ke dalam persimpangan. Antara berselingkuh dengan kandidat atau mencintai bangsa dan negara.
Merujuk data dari Komisi Aparatur Sipil Negara ((KASN) hingga 2 April 2024, sebanyak 481 ASN dilaporkan melanggar netralitas.
Dari angka tersebut, 264 ASN dinyatakan terbukti melanggar netralitas.
Lebih jauh, pada Pilkada serentak 2020 silam, tercatat 2.034 ASN yang dilaporkan melanggar netralitas, 1.597 ASN atau 78,5 persen di antaranya terbukti melakukan pelanggaran.
Selanjutnya, data per Desember 2023, total ASN di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 4.465.768 orang, dengan sekira 78 persen merupakan ASN di daerah.
Jumlah itu bukan tidak mungkin akan bertambah ke depan, sebab diketahui perekrutan ASN semakin massif.
Oleh karenanya, masalah netralitas ASN itu seperti bopeng pada wajah demokrasi kita, enggan hilang, selalu muncul menjelang pilkada. Hal ini patut ditilik dengan seksama.
Netralitas artinya tidak selingkuh, istiqamah mencintai bangsa dan negara. ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun, tidak pula memihak kepada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara.
Sebagai aparatur birokrasi, ASN kerap diuji netralitasnya. Ketika para politisi, kandidat kepala daerah beradu rayu padanya. Berdasarkan hasil survei Bidang Pengkajian dan Pengembangan Sistem, KASN (2018), terdapat beberapa penyebab yang membuat ASN nir-netral.
Penyebab utamanya adalah faktor oportunistik, ada motif pribadi ASN untuk mendapatkan sesuatu.
Kemudian disusul adanya hubungan kekerabatan antara ASN dengan kandidat, kurangnya pemahaman tentang regulasi netralitas ASN, serta adanya preferensi tekanan dari atasan yang wajib dipatuhi. Kurangnya integritas ASN untuk bersikap netral, nir-netral dianggap lumrah, pemberian sanksi lemah dan lain sebagainya.
Berdasarkan sebab yang melemahkan itu, para kandidat kepala daerah menganggapnya sebagai suatu kesempatan, untuk menggunakan jaringan birokrasi sebagai medium politis, setidaknya untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan politik mereka.
Sementara itu, para ASN yang oportunistik membuka diri untuk digombal tubuhnya demi mencapai jabatan yang lebih tinggi atau sekedar mengamankan posisi penting dalam struktur birokrasi. Ada semacam transaksi kepentingan di situ.
Bagi petahana atau calon yang diusung petahana, adu rayu ASN bukanlah hal yang sulit.
Sebab sangat dimungkinkan petahana telah lama mengasuh dan membangun hubungan patron-klien dengan ASN di bawah komandonya, termasuk kepala dinas, kabag dan sebagainya.
Sedangkan bagi kandidat penantang, hal ini membutuhkan energi ekstra.
Birokrasi memiliki kemilaunya tersendiri. Menurut Rezky dan Erman (2011), birokrasi dianggap sebagai sumber kekuatan yang signifikan bagi para calon kandidat dalam pilkada.
Tak mengherankan apabila aparatur birokrasi sering dirayu untuk masuk ke dalam pentas politik daerah.
Karena mereka memiliki banyak data yang meliputi jumlah pemilih, basis dukungan partai, pemilih pemula, kelompok golput, dan lain sebagainya.
Kemilau inilah yang kerap jadi rebutan para kandidat kepala daerah dalam proses pilkada.
Untuk menghilangkan bopeng ini, diperlukan aturan komprehensif dalam bentuk perundang-undangan sebagai demarkasi politisi dan ASN berikut sanksi tegas yang nyata bagi ASN yang terbukti nir-netral.
Ini merupakan PR Satuan tugas netralitas ASN. Bila perlu hak pilih ASN dicabut. Dengan begitu, imajinasi terkait etika profesionalitas ASN dapat terbangun sekaligus meruntuhkan sakau politiknya.
