Nunukan, KN – Pulau Sebatik, sebuah wilayah perbatasan yang kaya potensi namun sarat persoalan, kembali menjadi sorotan.
Meskipun mantan Presiden RI Joko Widodo telah meresmikan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Sebatik di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, pada Oktober 2024 dengan anggaran fantastis lebih dari Rp 200 miliar, ironisnya fasilitas vital ini belum berfungsi.
Akar masalahnya tak lain adalah sengketa batas wilayah Indonesia-Malaysia yang tak kunjung usai.
Situasi ini membelenggu kepastian hukum bagi ribuan warga yang tinggal di garis depan kedaulatan negara.
Kepastian Hukum Tergantung di Ujung Tanduk
PLBN Sebatik yang belum beroperasi bukan sekadar masalah teknis, melainkan cerminan dari ketidakpastian hukum yang mendalam.
Andi Muliyono, Ketua Komisi I DPRD Nunukan, menyuarakan keresahan ini dengan tegas.
“Pulau Sebatik ini jangan berada di ujung mata, selalu kita akui bagian NKRI, kenyataannya kepastian hukum tak jelas,” ujarnya saat ditemui pada Selasa (8/7/2025).
Implikasi dari ketidakjelasan status ini sangat luas. Aktivitas keluar masuk barang di Pulau Sebatik kerap terganjal masalah legalitas, menyulitkan Pemerintah Daerah dalam menerapkan retribusi dan pajak daerah.
Ini pada gilirannya menghambat peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Lebih jauh, situasi ini juga menciptakan kerentanan bagi masyarakat perbatasan yang kerap menjadi korban aturan hukum yang kaku, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok seperti sembako dan elpiji, serta praktik jual beli produk Malaysia secara tradisional.
Indikasi Korupsi dan Sengketa Batas, Warisan Sejarah, Taruhan Kekayaan Alam
Fakta bahwa PLBN Sebatik, yang pemerintah bangun dengan miliaran rupiah, belum dapat pemerintah manfaatkan, memunculkan pertanyaan serius.
“Kalau kita lihat dari penggunaan anggaran, itu masuk kategori korupsi. Menggunakan uang negara yang hasilnya tidak kita gunakan semaksimal mungkin, itu bagian penyalahgunaan anggaran,” tegas Andi Muliyono.
Pernyataan ini mengindikasikan potensi penyalahgunaan anggaran negara yang seharusnya kita manfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat perbatasan.
Sementara itu, perseteruan antara Indonesia dan Malaysia terkait batas teritorial darat dan laut telah berlangsung lama.
Malaysia berpegang pada klaim wilayahnya sebagai bagian dari bekas jajahan Inggris dan wilayah persemakmuran.
Di sisi lain, Indonesia memiliki bukti historis kuat bahwa wilayah sengketa adalah bekas jajahan Belanda, sehingga kita menolak keras penyerahan sejengkal pun tanahnya.
Menurut Andi Muliyono, alotnya penyelesaian garis batas negara ini tak lepas dari adanya kekayaan alam melimpah di Pulau Sebatik.
Perairan di sekitar perbatasan menyimpan kandungan minyak dan gas (migas) yang tak terhitung nilainya, sementara di daratan, terdapat kandungan biji emas yang luar biasa besar—sumber kekayaan yang signifikan bagi sebuah negara.
Kekayaan inilah yang diduga menjadi salah satu pemicu utama alotnya perundingan.
Ancaman Kedaulatan dan Pelajaran dari Masa Lalu
Andi Muliyono bahkan melontarkan kekhawatiran serius akan potensi klaim Malaysia terhadap PLBN Sebatik itu sendiri, terlebih jika Malaysia melakukan pengukuran ulang.
“Bagaimana jika suatu saat Malaysia mengumumkan kepada dunia kalau PLBN Sebatik masuk wilayah mereka? Di mana harkat dan martabat kita?” tanyanya retoris.
Ia menyoroti kasus Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai pelajaran pahit.
Malaysia memenangkan sengketa di Mahkamah Internasional atas Indonesia dengan metode okupasi atau penguasaan, membuktikan aktivitas pelepasan penyu yang menjadi bukti kuat kepemilikan.
Potensi pengukuran ulang batas wilayah di Sebatik pun menjadi persoalan serius.
“Jika kita mengakui (hasil pengukuran) itu menjadi kelemahan dan pertaruhan harga diri. Sebaliknya, jika tidak kita akui, akan menjadi persoalan berkepanjangan,” sesalnya.
Harapan pada Pemerintah Pusat dan Hubungan Bilateral
Sebagai wakil rakyat, Komisi I DPRD Nunukan mendesak Pemerintah Pusat untuk segera mengambil tindakan tegas demi kepastian hukum di Pulau Sebatik. Mereka tidak ingin ada sengketa antarnegara yang berkepanjangan, namun menuntut kejelasan status yang berdampak langsung pada kesejahteraan warga.
Banyak penduduk Pulau Sebatik adalah Warga Negara Indonesia yang memerlukan perhatian khusus agar tidak banyak yang terpaksa mencari nafkah sebagai pekerja migran Indonesia (TKI) di Malaysia.
Meskipun hubungan bilateral Indonesia-Malaysia tampak harmonis dengan pertemuan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini untuk menjalin kerja sama, Andi Muliyono merasa bahwa persoalan mendalam di perbatasan masih belum terselesaikan.
“Bagaikan suatu keluarga yang diam pura-pura bahagia, ada persoalan mendalam belum terselesaikan,” pungkasnya.
Sebagai Ketua Fraksi Gerindra DPRD Nunukan, Andi Muliyono mengaku terus menyuarakan masalah ini kepada Ketua Umum Gerindra.
Namun, kepastian hukum bagi warga Pulau Sebatik hingga kini masih “jauh panggang dari api.”
Situasi di Pulau Sebatik menjadi pengingat penting akan kompleksitas menjaga kedaulatan dan memberikan kepastian bagi warga di wilayah perbatasan, serta potensi masalah dalam tata kelola anggaran negara.
Langkah konkret dan ketegasan dari Pemerintah Pusat sangat kita nantikan untuk mengakhiri ketidakpastian ini. (Dzulviqor)
