Penulis : Taufik Ramli ( Karyawan Swasta )
OPINI – Gegap gempita dan hiruk pikuk pelaksanaan Pemilu Pilpres 2024 rasanya tidak ada habisnya untuk dibahas, sejak masa tahapan pencalonan, masa pendaftaran dan pengundian nomor urut calon, episode panggung debat yang penuh intrik, dan gimik dalam menarik simpatik publik, adu strategi kampanye di dunia nyata maupun dunia maya, sampai adu serang dengan hal-hal yang sifatnya personal dan yang teranyar adalah gugatan ke meja Mahkamah Konstitusi ( MK ), dimana penonton kembali disuguhkan dengan pertarungan masing-masing kuasa hukum atau pengacara dalam beradu argumentasi, adu fakta dan data serta saling silang pendapat.
Terlepas apa pun yang menjadi keputusan hasil sengketa pilpres yang diumumkan oleh MK tanggal 22 April 2024 nanti, biarlah para ahlinya yang nanti berbicara, kita sebagai masyarakat awam cukup menunggu dengan tertib dan sabar sembari melihat kontestasi pilpres 2024 ini dari sudut pandang yang berbeda menjelang pilkada serentak yang juga akan dihelat tahun ini.
Ditengah sengitnya kompetisi dan persaingan 3 paslon pada pilpres 2024 kemarin, ia jelas bukanlah semata-mata sebuah pertarungan politik yang hanya berbasis pada ketokohan dan elektoral calonnya belaka, bukan juga pertarungan kepetingan partai politik koalaisi pengusungnnya, dan bukan juga pertarungan para The king Maker dari masing-masing calon yang ada, tapi pilpres tahun ini adalah pertarungan visi-misi dari masing-masing calon.
Visi-misi calon bukan lagi hanya menjadi emblem yang menempel secara normatif atau hanya sekedar persyaratan administrtif calon dalam mendaftarkan diri ke KPU.
Namun visi mereka ini juga menjadi bagian yang melekat dan tidak terlepaskan dari setiap calon dalam “menjual diri “ ke rakyat agar bisa dipilih dan terpilih.
Pembaca tentu masih ingat dimana paslon nomor urut 01, Anis dan Cak Imim disetiap penampilan dan orasi politiknya selalu mengembar-gemborkan diri atau mempersonalisasikan diri sebagai calon yang mengusung tema Perubahan, mereka hadir sebagai antitesis dari pemeritahan yang sedang berkuasa saat ini, selanjutnya paslon Prabowo dan Gibran yang dipersonalisasikan selain sebagai pasangan yang akan melanjutkan dan mewariskan pemeritahan Jokowi, paslon ini juga menjadi pengusung program Makan Siang Gratis, dan hal inilah yang diyakini memiliki dampak besar tingginya elektabilitas hasil survei sebelum pemilihan berlangsung dan hasil quick qount setelah pemilihan berlangsung dihampir semua lembaga survei nasional. Dimana paslon nomor urut dua ini unggul jauh dari dua rivalnya tersebut. Mereka sadar betul visi program Makan Siang Gratis ini memiliki nilai dobrak, dan pengaruh yang kuat dalam merebut simpati masyarakat akar rumput.
Dan paslon terakhir Ganjar dan Mahfud mempersonalisasikan diri sebagai pengusung program Internet Gratis, yang sebenarnya cukup relevan ditengah era internet dan digitalisasi saat ini, namun mungkin segmentasinya yang tidak terlalu besar karena hanya menyentuh kalangan tertentu kelompok pelajar dan ekonomi menengah ke atas.
Personalisi visi inilah yang secara sadar telah menjadi personal branding masing-masing calon yang memudahkan dan mempercepat proses sosialisasi mereka.
Personalisasi visi yang menjelma menjadi personal branding calon menjadikan panggung pilpres selalu menjadi menarik dibicarakan mulai dari kalangan kaum kafe dan resto sampai di warung warung kopi. Ia menjadi menarik karena visi itu melekat langsung ke masing-masing calon, karena cukup dengan menyebut kata perubahan, atau makan siang gratis, atau internet gratis sebagai kluenya orang akan paham dan mudah mengasosiasikan siapa calon yang dimaksud, dengan pendekatan seperti ini juga memudahkan mereka dalam menjelaskan ke publik tentang apa yang akan mereka lakukan jika terpilih.
Hal positif ini harusnya terduplikasi dalam konterks Pilkada, khususnya di Nunukan. Dengan kompleksitas masalah yang ada, mulai dari krisis listrik yang tak kunjung usai, krisis air bersih akibat anomali cuaca, sehingga hanya berharap pada satu sumber bernama air hujan tanpa ada alternatif lain, infrastruktur yang terbilang mandek dan stagnan, belum lagi masalah sulitnya lapangan pekerjaan, tingginya angka pengangguran, pendapatan masyarakat yang rendah, masalah ekonomi dan kemiskinan, stabilitas harga komoditas rumput laut yang tak menentu, kriminalitas yang meningkat, kesenjagnan sosial, serta masalah agenda reformasi birokrasi hanya menjadi dalih mengakomodir kepentingan elit dan birokrasi saja.
Ajang periodik ini harusnya menjadikan siapa pun mereka yang berniat maju berkompetisi memiliki kesadaran tinggi dengan berbekal formulasi dalam merumuskan solusi apa yang harus mereka tawarkan untuk menjadi visi misi mereka ke depan.
Kita berharap alat peraga sosialisasi dalam bentuk baliho dan spanduk yang mereka pajang disisi sisi jalan saat ini, bukan hanya berisi ucapan selamat memperingati hari-hari besar saja, tapi juga memuat ide-ide besar dalam mengatasi masalah di daerah ini.
Jauh lebih elok bila baliho yang besar itu juga dibarengi dengan ide dan gagasan besar, bukan hanya sekedar memuat wajah dengan senyum manis si bakal calon. Nawaitunya harus berakar pada apa yang saat ini menjadi kebutuhan masyarakat, bukan hanya sekedar merebut kekuasan atau mengganti siapa yang berkuasa, tapi harus mampu menghadirkan kemaslahatan dan kebaikan untuk semua tanpa memilah dan memilih dari mana asal usulnya.
Pilkada November 2024 nanti harusnya melahirkan kepemimpinan yang peka dan berkualitas, pemimpin yang bisa merasa, bukan merasa bisa.
Menawarkan solusi dari masalah yang ada, bukan malah melahirkan masalah baru kedepannya. Karena Pilkada yang baik adalah pilkada yang menyuguhkan bakal calon yang tak hanya dikenal karena ketokohan diri dan orang tuanya saja, tapi dikenal juga karena integritas dan visi misinya.
Karena disepanjang perhelatan pilkada di daerah ini rasanya tidak pernah sepi peminat, artinya kita tak pernah krisis calon pemimpin hanya saja pemimpin kita yang krisis menghadirkan solusi.
