NUNUKAN, KN – Di jantung perbatasan Indonesia-Malaysia, tepat di samping dinding SDN 004 Sebatik Tengah, terpampang sebuah spanduk sederhana bertuliskan Kantin Rupiah.
Sebuah inisiatif sederhana namun luar biasa kini mentransformasi lanskap pendidikan di salah satu titik terdepan Indonesia.
Sekolah ini berdiri strategis di Jalan Lingkar Sebatik, Desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah, Nunukan, Kalimantan Utara, dan menjadi garda terdepan dalam menanamkan pemahaman ekonomi serta cinta Tanah Air kepada generasi muda.
Banyak di antara mereka adalah anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang selama ini akrab dengan dominasi Ringgit Malaysia.
Dari 141 murid, lebih dari 30 anak merupakan keturunan buruh perkebunan kelapa sawit di Malaysia.
Mereka sering datang dengan bekal uang saku Ringgit, dan selama ini terbiasa dengan lingkungan yang didominasi mata uang Negeri Jiran.
Kondisi ini mendorong para guru berinovasi. Dalam pengajaran, mereka bahkan sering menggunakan dua bahasa – Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu – demi memastikan anak-anak yang tumbuh besar di Malaysia memahami materi pelajaran dengan baik.
Kantin Rupiah, Laboratorium Hidup Literasi Keuangan dan Nasionalisme
“Negara kita hanya mengenal satu mata uang, yaitu Rupiah. Oleh karena itu, kita harus membiasakan anak-anak kita memakai dan mencintai Rupiah ketimbang Ringgit,” jelas Kepala Sekolah SDN 004 Sei Limau, Sittiara Razak, saat ditemui pada Selasa (29/7/2025).
Melalui program ini, Kantin Rupiah berfungsi sebagai laboratorium hidup untuk mengajarkan numerasi dan literasi keuangan.
Setiap anak yang hendak menukarkan uang Ringgitnya akan menghadapi serangkaian pertanyaan matematika sederhana dari guru.
Mereka belajar nilai tukar Ringgit ke Rupiah, serta berlatih penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian menggunakan media uang sungguhan.
Pendekatan praktis ini terbukti jauh lebih efektif dalam menanamkan konsep finansial dibanding metode pengajaran konvensional di dalam kelas.
Untuk mendukung operasional Kantin Rupiah, pihak sekolah menjalin kerja sama erat dengan perbankan setempat.
“Kami bekerjasama dengan Perbankan untuk menyediakan uang receh Rupiah. Biasa kami menyediakan uang receh mulai Rp 1.000 sampai Rp 2.000 berjumlah Rp 300.000. Begitu habis, kami menukarkan lagi dan seterusnya,” urai Sittiara, menggambarkan siklus perputaran uang receh yang menjadi denyut nadi program edukatif ini.
Rupiah sebagai Media Pencerahan dan Simbol Bangsa
Inisiatif Kantin Rupiah tak terbatas pada aspek matematis semata, melainkan juga menanamkan cinta Indonesia melalui Rupiah.
Setiap lembar uang Rupiah menjadi media literasi yang kaya.
Anak-anak diajak mengenal nilai uang, membaca tulisan yang tertera, mengidentifikasi nama pahlawan, lokasi yang digambarkan dalam lukisan uang, jenis tarian tradisional, hingga menyelami sejarah di balik mata uang kebanggaan Indonesia.
Ini adalah upaya taktis sekolah untuk memperkuat ikatan emosional mereka dengan Tanah Air.
“Jadi Kantin Rupiah itu menjadi semacam kamus tentang pengetahuan umum dan matematika di sekolah kami. Itulah cara kami meningkatkan numerasi dan literasi. Dan Alhamdulillah, anak-anak cepat paham ketimbang kami menjelaskannya secara rinci di depan kelas,” imbuh Sittiara, menggambarkan keberhasilan metode unik ini dalam mencerdaskan anak-anak didiknya.
Meskipun Kantin Rupiah SDN 004 Sei Limau menyepakati nilai tukar Ringgit ke Rupiah dengan pembulatan—misalnya RM 1 yang nilainya lebih dari Rp 3.000 dibulatkan menjadi Rp 3.000—hal ini memiliki alasan kuat.
Sisa penukaran uang, yang merupakan hasil pembulatan, menjadi kas sekolah.
Mereka kemudian memanfaatkan dana ini untuk mempercantik lingkungan sekolah, seperti membeli pot-pot bunga. “Pembulatan kami lakukan berdasarkan kesepakatan dan karena tidak adanya atau tidak lakunya uang receh logam dengan nilai Rp 500 atau Rp 100 di Nunukan,” jelas Sittiara, menunjukkan pragmatisme dalam pengelolaan keuangan sekolah.
Tantangan Geografis dan Semangat Baja di Perbatasan
Di balik kisah sukses Kantin Rupiah, terhampar pula tantangan geografis yang tak mudah.
Sittiara mengungkapkan, lebih dari 30 anak buruh perkebunan kelapa sawit Malaysia harus berangkat sekolah selepas Subuh.
Jarak yang jauh dan kondisi medan yang sulit sering menghambat mereka untuk mengikuti pelajaran secara aktif.
“Setiap hujan, mereka biasa meminta izin tidak masuk sekolah. Mereka melewati sungai. Meskipun ada jembatan, itu cuma kayu yang melintang, jadi berbahaya juga. Kalaupun terlambat ke sekolah, kami memaklumi mereka,” tuturnya, menggambarkan perjuangan heroik anak-anak perbatasan demi mendapatkan pendidikan yang layak.
Kantin Rupiah di SDN 004 Sebatik Tengah mencerminkan semangat juang para guru di perbatasan untuk mencetak generasi yang tak hanya melek angka dan huruf, tetapi juga mencintai Rupiah sebagai simbol kedaulatan ekonomi bangsa.
Inisiatif ini menjadi model bagaimana pendidikan dapat beradaptasi dengan kondisi lokal untuk menciptakan dampak positif yang nyata pada kehidupan anak-anak di wilayah terpencil, dan seyogianya dapat direplikasi di titik-titik perbatasan lain demi memperkuat kedaulatan ekonomi Indonesia dari akar rumput. (Dzulviqor)
