Catatan Kemerdekaan Reporter STI FM (S Priyadi)
Maka ada yang aneh dengan ulang tahun kita kali ini. Usia 80 tahun, mestinya sudah mapan. Mestinya sudah tenang. Sudah bisa bersandar. Tapi malah kaget. Kagetnya dua kali lipat.
Pada hari ini, 17 Agustus 2025, saat tiang-tiang bendera menjulang tinggi di setiap sudut desa dan kota, ada dua berita yang datang dari Kalimantan Utara.
Dua cerita yang terjadi dalam satu panggung yang sama, tapi seolah bicara soal dua negara yang berbeda.
Kabar pertama dari Tanjung Selor. Kabar kedua dari Nunukan.
Kabar dari Tanjung Selor adalah kabar duka. Bukan duka cita, tapi duka moral.
Ada dugaan korupsi yang nilainya bikin kepala pusing. Rp 275,2 miliar. Uang yang diduga dijarah dari dugaan kredit fiktif di Bank Kaltimtara.
Polda Kaltara bergerak serentak. Tiga kantor digeledah. Dua di Tanjung Selor, satu di Nunukan.
Maka, mudah sekali uang negara menguap begitu saja. Angkanya seperempat triliun lebih.
Uang sebanyak itu seharusnya bisa menjadi jembatan untuk masa depan. Bisa untuk membangun puluhan sekolah, puluhan rumah sakit, atau paling tidak, puluhan lapangan sepak bola berstandar FIFA di seluruh pelosok Kaltara.
Tapi, tidak.
Ketika Uang Jadi Misteri
Maka ada satu hal lagi yang membuat hati miris. Pada perayaan 17 Agustus, banyak komunitas berlomba-lomba mengajukan proposal.
Ada yang ingin mengadakan lomba panjat pinang, ada yang ingin menggelar festival seni. Tujuannya satu, mengadakan pesta rakyat, memeriahkan hari kemerdekaan.
Mereka mendatangi berbagai kantor. Termasuk perbankan di Nunukan.
Tapi, responsnya sering kali mengecewakan. Terutama dari pihak perbankan.
Tak hanya Bank Kaltimtara, banyak bank lain yang juga sulit merespons.
Responsnya dingin. Mereka selalu punya alasan. Alasannya klasik “Anggaran terbatas” atau “Belum ada alokasi”.
Maka, proposal setebal buku pun sering kali hanya berakhir di laci meja.
Anak-anak yang antusias ingin ikut lomba lari karung harus gigit jari.
Pesta rakyat itu akhirnya digelar seadanya, mengandalkan dana swadaya.
Di satu sisi, uang ratusan miliar bisa dengan mudahnya dijarah dari dalam sebuah bank.
Di sisi lain, untuk puluhan proposal yang hanya butuh puluhan juta rupiah demi kebahagiaan rakyat, alirannya justru macet.
Mereka Punya Anggaran, Kita Cuma Punya Janji
Bersamaan dengan kabar duka itu, saya membaca cerita lain.
Ceritanya ada di kolom komentar media sosial halaman Facebook Kabar Nunukan.
Mengeluhkan hal yang sama sekali berbeda. Soal bakat-bakat muda. Bakat sepak bola.
Di pedalaman sana, banyak sekali anak-anak dengan kaki-kaki lincah. Mereka bermain di lapangan debu, tanpa sepatu. Calon-calon bintang masa depan.
Ironisnya, saat ini euforia bola lagi menggeliat. Ada Bupati Cup 2025 dan Piala Soeratin U 17 regional Kaltara yang sedang berlangsung. Semua digelar di stadion Sei Bilal Nunukan.
Mereka punya turnamen. Mereka punya semangat. Tapi mereka tidak punya harapan. Mereka tidak punya pembinaan. Alasan itu bernama “anggaran”.
Maka, di saat yang sama, Rp 275 miliar uang lenyap dari sebuah bank. Hanya karena segelintir orang.
Di sisi lain, ribuan anak muda kehilangan mimpi hanya karena selembar kertas bertuliskan “anggaran tidak cukup”.
Ketika Semua Sudah Lengkap, Kecuali Kita
Maka di hari ulang tahun ini, di antara riuh tepuk tangan dan kibaran bendera, kami, yang selama ini luput dari anggaran, ingin menyampaikan rasa syukur.
Kami bersyukur, di tengah semua kabar duka tentang uang negara yang menguap, kami masih bisa berdiri.
Kami bersyukur, di tengah sulitnya mencari dana untuk pesta rakyat, kami masih bisa mengadakan lomba seadanya.
Kami bersyukur, di tengah mimpi kami yang terabaikan, kami masih bisa menendang bola di lapangan tanah, berteriak “Merdeka!” dengan suara serak.
Maka kami bersyukur, kemerdekaan ini masih terasa. Meskipun tidak terasa utuh. Meskipun tidak adil.
Kemerdekaan ini milik kita. Milik para pemimpi yang hanya bermodal keringat.
Milik para panitia 17-an yang hanya bermodal iuran.
Milik kami, yang hari ini hanya bisa menatap jauh dari Nunukan, sambil bertanya,
Sudah 80 tahun. Apa yang kurang?
Kami punya bakat. Kami punya semangat. Kami punya mimpi.
Lalu, mengapa kami tidak punya kesempatan?
Mengapa uang yang seharusnya jadi jembatan bagi kami, justru menjadi jurang?
Maka kami hanya bisa mengucapkan, “Dirgahayu Republik Indonesia. Merdeka!”
Merdeka dari korupsi. Merdeka dari ketidakpedulian. Dan merdeka dari janji-janji yang tak pernah sampai.
Semoga di ulang tahun ke-81, kami bukan lagi bagian dari cerita yang terabaikan. Salam saya!
