NUNUKAN – Sejumlah peternak ayam lokal di Nunukan Kalimantan Utara mengaku merugi karena membludaknya pasokan ayam impor dari Tawau Malaysia, juga banyaknya distribusi daging ayam dari luar pulau Nunukan.
Murahnya harga daging ayam dari luar pulau Nunukan dikatakan mematikan bisnis ayam peternak lokal, sehingga mereka terus merugi dan terpaksa menjual ayam mereka jauh di bawah harga pasar.
Keluhan tersebut kemudian disampaikan dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) di ruang Ambalat DPRD Nunukan, Senin (15/2/2021).
Ketua CV.Tunon Taka Mitra Sejahtera (TMS) Darma Kohar, menuturkan, sudah beberapa bulan terakhir, pemasaran ayam lokal kurang diminati, harga yang lebih mahal ditengarai menjadi alasan.
‘’Sekarang kita hanya bisa menjual paling Rp.23.000 dari harga pasaran Rp.25.000 per kg, itu tidak menutupi biaya produksi dan pakan,’’ujarnya.
Ada sejumlah alasan, dimana harga ayam lokal jatuh harga, usia ayam yang seharusnya sudah dijual saat berumur 30 hari, kini dipanen pada umur 50 hari, dengan harapan harga akan stabil.
Selain itu, membludaknya pasokan ayam dari luar daerah dan masih masuknya ayam impor asal Tawau – Malaysia, menjadi permasalahan yang dibahas.
‘’Mereka menjual daging ayam beku, dengan harga murah, kalau kita ikut harga mereka, tentu semakin rugi,’’lanjutnya.
Perwakilan peternak lokal, Selutan Tadem juga mengeluhkan hal sama, selama daging ayam beku masih mudah masuk ke Nunukan, maka peternak lokal akan dirugikan.
‘’Pangsa pasar kami hilang, yang di Sebatik, mereka ambil ayam dari Tawau Malaysia, yang dapil 3, mereka ambil dari Malinau, jadi kita menjual hanya sekitar Nunukan saja,’’keluhnya.
Para peternak berharap pemerintah mengantisipasi hal ini, semakin lama harga pasaran anjlok, maka peternak lokal akan terus merugi.
Selutan dan sejumlah peternak lokal lain mengakui, sejauh ini Pemkab Nunukan dikatakan berhasil memberdayakan peternak, saat ini saja, peternak lokal yang tergabung di CV.Tunon Taka Mandiri Sejahtera (TMS), ada sekitar 90 peternak dan 200 kandang. Belum lagi, ada peternak lain yang diluar data CV.TMS.
Peternak lokal juga bisa mendatangkan Day Old Chicken (DOC) sebanyak 40.000 bibit sekali datang. Sayangnya, Pemkab belum berhasil dalam menyediakan pangsa pasar dan mengatur harga.
‘’Kami ingin ada Perda larangan ayam masuk dari luar daerah, karena secara statistik, dengan keberadaan peternak di Nunukan, sudah mencukupi kebutuhan daging ayam masyarakat,’’kata mereka.
Rapat yang dipimpin Ketua Komisi II DPRD Nunukan Welson ini, dihadiri sejumlah OPD dari Dinas Perdagangan, Dinas Koperasi dan UMKM, juga Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan.
Welson mengatakan, saat ini, keluhan pedagang di semua daerah hampir sama, masih mewabahnya Covid-19 menjadikan daya beli masyarakat berkurang, dan tentu saja alasan ini merupakan sebuah fakta yang tak bisa dibantah.
‘’Ada permintaan, untuk blokade pasokan ayam dari luar daerah, ini point yang butuh dibahas lebih jauh, bukan bagaimana-bagaimana, Kabupaten Nunukan ini adalah perbatasan RI – Malaysia, perjanjian Barter Trade Agrement (BTA) juga ada,’’katanya.
Selain itu, Pemkab Nunukan juga butuh memaksimalkan cool strorage untuk penyimpanan daging ayam beku.
Para peternak lokal juga butuh wadah semacam asosiasi dimana nantinya mereka bisa saling berkoordinasi dan berkomunikasi bagaimana mencari solusi persoalan tersebut.
‘’Pada intinya, ini tentang pangsa pasar di masa pandemi, kembali ke masing-masing peternak, bagaimana menyiasati pasar dalam keadaan saat ini, kreatifitas dan kreasi mereka yang akan jadi solusi,’’imbuhnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perdagangan Nunukan Dian Kusumanto mengatakan, kondisi harga daging ayam anjlok, menjadi sebuah rutinitas setiap awal tahun.
Biasanya, kata Dian, para peternak memasok ayam cukup banyak di akhir tahun, sehingga terkadang DOC/bibit ayam mereka berlebih dan menimbulkan persoalan sebagaimana dikeluhkan para peternak di RDP.
‘’Biasanya peternak memesan DOC banyak untuk memasok momen Natal dan menyambut tahun baru, terjadilah over kuota, dan itu yang jadi masalah selama ini,’’katanya.
Memang saat ini, peternak lokal hanya bisa menjual di harga terendah Rp. 19.000 per kg, dari harga normal Rp. 25.000 per kg.
Namun yang harus difahami, kondisi pandemi menjadi alasan utama, selain itu kreatifitas peternak untuk menciptakan inovasi produk lain akan menjadi solusi persoalan tersebut.
‘’Yang perlu diatur adalah suplay and demand, peternak juga harus membuat perkiraan berapa DOC yang harus didatangkan, kalau untuk blokade daging ayam dari luar, kita harus berfikir dampak dan apakah wilayah lain terjamin juga kebutuhan daging ayamnya?,’’kata Dian. (Dzulviqor)
