NUNUKAN, KN – Petugas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kabupaten Nunukan menangkap seekor buaya muara (Crocodylus porosus) berukuran tiga meter yang menyusup ke permukiman warga di Pulau Sebatik. Warga menemukan buaya ini di dalam kubangan air pemandian bebek di Jalan H. Dalle, Desa Aji Kuning, pada Selasa (28/10/2025) malam.
Penangkapan buaya ini menegaskan kembali tingginya potensi konflik satwa liar di wilayah perbatasan Kalimantan Utara.
Kelaparan Buaya Muara Memicu Insiden
Abdul Wahid, Danton Damkar Sebatik Utara, menduga buaya tersebut masuk ke permukiman karena kelaparan. Reptil itu naik dari muara dengan target mangsa adalah bebek-bebek milik warga.
Warga yang melihat buaya besar di kubangan air dangkal melaporkan kejadian darurat kepada Petugas Damkar dan meminta petugas mengevakuasi predator tersebut.
”Buaya itu kemungkinan kelaparan dan mengincar bebek. Dia naik dari muara dan warga melihatnya, kemudian warga melapor ke Damkar,” kata Wahid, Rabu (29/10/2025).
Proses Penangkapan Berisiko Tinggi
Meskipun evakuasi satwa liar bukan tugas utama Damkar, tim segera merespons. Mereka harus menghadapi buaya yang memiliki tenaga besar, terutama saat berada di dalam air.
”Buaya kalau di kubangan tenaganya kuat dan pastinya buas. Jadi, fokus kami menariknya keluar air,” tutur Wahid.
Petugas menggunakan tali tambang dan berhasil memasukkan simpul jerat ke kepala buaya. Setelah berhasil menarik buaya ke daratan, petugas menutup matanya, mengikat kakinya, dan mengangkutnya untuk direlokasi.
Petugas kemudian melepaskan buaya itu kembali ke habitatnya di Muara Somel, jauh dari permukiman padat penduduk.
Dampak Lingkungan dan Penyempitan Habitat
Insiden ini menunjukkan adanya tekanan lingkungan yang besar di Nunukan. Buaya muara adalah satwa endemik Nunukan dan Sebatik. Penyebab utama buaya mendekati manusia adalah karena habitat alaminya berkurang, yaitu hutan bakau (mangrove) yang berfungsi sebagai tempat mencari makan.
Ketika hutan bakau rusak akibat pembangunan atau konversi lahan, sumber makanan buaya (ikan, kepiting) berkurang. Kondisi ini memaksa buaya mencari mangsa di area terdekat, termasuk ternak milik warga.
Sorotan Koordinasi dan Regulasi Satwa Liar
Secara hukum, buaya muara termasuk satwa yang dilindungi. Oleh karena itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) harus mengoordinasikan penanganan konflik buaya. Adapun kewenangan teknis di Wilayah Nunukan (Kalimantan Utara) secara spesifik berada di Seksi Konservasi Wilayah (SKW) II, BKSDA Kalimantan Timur (BKSDA Kaltim).
Namun, menjadi perhatian bahwa fakta Damkar bertindak sebagai responden pertama mengindikasikan adanya kendala jarak geografis dan keterbatasan operasional BKSDA di lapangan. Dengan demikian, meskipun patut mengacungi jempol kerja cepat Damkar, penanganan jangka panjang tentu saja tetap membutuhkan peran aktif BKSDA Kaltim.
Sinergi antara Pemda, Damkar, dan BKSDA diperlukan untuk menciptakan protokol penanganan yang lebih efektif dan sesuai standar konservasi.
✅ Rekomendasi Mitigasi Konflik
Untuk mencegah konflik buaya muara berulang di Nunukan, langkah-langkah berikut perlu dilaksanakan:
- Pemetaan Area Rawan Konflik: Pemerintah daerah dan BKSDA memetakan zona merah konflik buaya untuk pemasangan rambu peringatan dan sosialisasi.
- Edukasi Warga: Tingkatkan sosialisasi kepada warga yang tinggal di dekat muara mengenai perilaku buaya, waktu-waktu rawan, dan prosedur pelaporan.
- Penguatan Kapasitas Respon: Pemda melengkapi tim Damkar dengan pelatihan khusus penanganan satwa liar sesuai standar BKSDA.
- Restorasi Habitat: Secara jangka panjang, lakukan restorasi ekosistem bakau untuk memastikan sumber pangan buaya tersedia di habitat aslinya.
Konflik satwa liar akan mereda jika habitat asli satwa tetap terjaga (Dzulviqor)
![]()







































