Site icon Kabar Nunukan

Membendung Gelombang Kekerasan, Muhammad Nasir Gelar Sosialisasi Perda Perlindungan Perempuan dan Anak di Nunukan

NUNUKAN, KN – Komitmen seorang wakil rakyat tak terukur dari banyaknya suara, melainkan seberapa dalam ia meresapi denyut nadi masyarakat.

Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Utara, Muhammad Nasir, S.Pi., MM, kembali membuktikan itu, ia langsung membawa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak ke Nunukan.

Selama empat hari penuh, dari 30 Juli hingga 2 Agustus 2025, Nasir menyambangi dua titik strategis, Hotel Fortuna dekat Alun-Alun Nunukan dan Jl. Angkasa, Nunukan Timur.

Forum ini jauh dari kesan seremonial belaka. Ia menjelma menjadi ruang perjumpaan yang hidup, jembatan edukasi, sekaligus wadah dialog terbuka antara warga dan wakilnya.

Dalam sambutan lugas, Nasir menekankan, perlindungan perempuan dan anak adalah kebutuhan tak terelakkan yang tak bisa lagi tertunda.

“Perda ini bukan sekadar lembaran dokumen yang tersimpan rapi. Ini adalah bentuk komitmen negara; negara hadir melindungi mereka yang paling rentan dari cengkeraman kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi,” tegasnya.

Kekerasan Perempuan dan Anak, Puncak Gunung Es di Kaltara

Dan urgensi itu bukanlah isapan jempol. Angka-angka bicara, dan kali ini, angkanya menyentak kesadaran.

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Kaltara mencatat, sepanjang tahun 2024, lebih dari 150 kasus kekerasan menimpa perempuan dan anak.

Namun, data ini, menurut perkiraan, hanyalah pucuk dari gunung es yang menjulang.

Seringkali, tekanan sosial, ketakutan yang mencekam, dan minimnya pemahaman hukum membungkam suara korban, membuat banyak kasus tak pernah terungkap.

Corak kekerasan yang muncul pun beragam, menghadirkan gambaran muram realitas di lapangan.

Mulai dari kekerasan fisik dan psikis dalam lingkaran rumah tangga—yang seharusnya menjadi tempat teraman—hingga pelecehan seksual di sekolah maupun ruang publik—yang ironisnya seharusnya nyaman.

Tak ketinggalan, fenomena perundungan (bullying) kian marak menggerogoti lingkungan pendidikan. Sebuah potret yang mengoyak hati, sekaligus menyerukan tindakan kolektif.

Antusiasme Warga dan “Ruang Curhat” yang Terbuka

Tak heran, sosialisasi ini tidak berjalan searah. Peserta, yang didominasi oleh ibu-ibu, guru, dan tokoh masyarakat, menunjukkan antusiasme yang membuncah.

Sorot mata mereka memancarkan harapan, dan beberapa tak ragu memanfaatkan forum ini sebagai “ruang curhat” dadakan.

Mereka meluapkan keluh kesah yang selama ini mungkin terpendam.

“Anak saya sering dibully di sekolah, Pak. Tapi kami bingung harus mengadu ke siapa. Semoga perda ini benar-benar bisa ditegakkan,” lirih salah seorang peserta dengan suara bergetar, memilin harapan yang menggantung.

Suara itu, seolah mewakili ratusan suara lain yang mendamba keadilan dan perlindungan.

Merespons gema suara masyarakat, dua pegiat perempuan turut hadir sebagai pemateri tambahan yakni Hasmawati, S.Si dan Arpiah, ST.

Keduanya mengupas tuntas betapa pentingnya edukasi, pemahaman gender, serta peran aktif masyarakat dalam membendung arus kekerasan ini.

“Perempuan dan anak tidak hanya harus aparat atau lembaga lindungi, tapi seluruh lapisan masyarakat. Perubahan harus dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga,” tutur Hasmawati, menaburkan benih kesadaran.

Tak Ada Perda yang Berhenti di Atas Kertas

Muhammad Nasir menutup kegiatan ini dengan janji yang pantang diingkari. Pihaknya di DPRD akan terus mengawal implementasi Perda No. 1 Tahun 2021 ini.

Mereka tidak membiarkannya menjadi regulasi mati, melainkan hingga manfaatnya benar-benar terasa oleh seluruh masyarakat.

“Kami tidak ingin perda ini berhenti di atas kertas, menjadi pajangan belaka. Kita harus menguatkan lembaga layanan, meningkatkan kapasitas tenaga pendamping, dan melanjutkan sosialisasi,” pungkas Nasir.

Dengan terlaksananya kegiatan ini, harapan membuncah.

Harapan agar kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka kian mengental. Harapan agar keberanian untuk bersuara—baik saat menjadi korban maupun saksi kekerasan—kian terpupuk.

Perda ini, dengan segala taring hukumnya, menjadi instrumen esensial untuk mengukir Kaltara yang lebih aman, adil, dan beradab bagi perempuan dan anak.

Sebuah cita-cita yang patut kita perjuangkan bersama, demi generasi mendatang. (Dzulviqor)

Exit mobile version