NUNUKAN – Kebutuhan bahan pangan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, menjadi sebuah masalah urgent dan butuh perhatian serius.
Hal tersebut, berkaitan dengan geliat rumput laut. Meski di satu sisi menggerakkan ekonomi masyarakat secara mandiri tanpa andil pemerintah. Sisi lain, memunculkan kekhawatiran akan sektor pangan maupun sektor pendidikan.
Produksi rumput laut Nunukan, menarik cukup banyak tenaga kerja dari luar daerah. Anak-anak usia sekolah, tidak sedikit yang menjadi buruh ikat bibit rumput laut.
Mirisnya lagi, para petani meninggalkan sawahnya, begitu pula dengan nelayan. Semua terjun dalam usaha rumput laut.
Di tengah kondisi akan ancaman kerawanan pangan dan krisis literasi, ada juga beberapa warga Nunukan yang mencoba andil untuk pemenuhan kebutuhan pangan.
Muhammad Basir, misalnya, ia mencoba peruntungan dengan membuka usaha ayam petelur. Urgensi kerawanan pangan dan belum ramainya persaingan di bidang tersebut, memantapkan niatnya membangun kandang dan berjualan telur ayam lokal.
‘’Usaha kan maunya panjang. Nah kalau bicara jangka panjang, telur ayam di Nunukan selama ini masih mendatangkan dari luar daerah, yaitu Sulawesi. Sementara pengusaha lokal sangat sedikit dan belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat,’’ ujarnya, Sabtu (29/4/2023).
Dalam kondisi saat ini, lanjut Basir, masyarakat dari berbagai kalangan, bahkan ekonomi atas, juga berhitung dalam pengeluaran belanja.
Mereka tidak bisa selalu mengkonsumsi daging ataupun ayam. Sementara telur ayam, menjadi alternatif pangan yang cocok dalam pemenuhan gizi dan protein.
‘’Bukan hanya untuk lauk pastinya. Pembuatan kue dan penganan banyak yang menggunakan telur juga,’’ imbuhnya.
Sejauh ini, harga telur ayam lokal, belum bisa dipasarkan dengan harga lebih murah dari harga telur ayam asal Sulawesi.
Selain itu, tidak bisa dibantah, bahwa kebutuhan masyarakat di wilayah perbatasan masih memiliki ketergantungan besar dengan barang-barang Malaysia.
Kabupaten Nunukan yang merupakan kepulauan, bergantung pada kedatangan kapal yang memuat pakan, dan segala hal yang tentunya harus berhitung dari sisi ongkos angkut.
‘’Harga jual telur ayam lokal Nunukan sama dengan telur dari Sulawesi sekitar Rp 55.000 per rak. Bedanya, telur ayam lokal tentu lebih fresh, lebih segar. Itu yang kita tawarkan,’’ lanjut Basir.
Basir mengakui, untuk membuka usaha telur ayam lokal, modal yang ia keluarkan tidak sedikit. Mulai dari membeli lahan dan membangun kandang, sampai membeli Day Old Chicken (DOC) maupun pullet, ia menghabiskan biaya tidak kurang dari Rp 600 juta.
Meski baru sekitar 4000 ekor ayam petelur yang menjadi langkah awalnya, ia berharap dirinya menjadi bagian dari pengusaha lokal yang andil dalam antisipasi potensi kerawanan pangan di Kabupaten Nunukan.
Basir yang merupakan ASN di Kantor BPBD Nunukan ini, menjajakan telur ayamnya di areal alun-alun kota Nunukan.
Selain untuk promosi produk lokal, Basir ingin menunjukkan andilnya sebagai pengusaha yang mencoba memutus ketergantungan Nunukan dengan barang-barang luar pulau.
‘’Jangan dulu dihitung seberapa besar hasil telur ayam kami mampu memenuhi kebutuhan telur masyarakat, belum ada apa-apalah tentunya. Tapi kita pelan-pelan berusaha ke arah itu,’’ kata Basir. (Dzulviqor)