NUNUKAN – Seorang siswi di salah satu SMP Negeri, di Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara, mogok sekolah, setelah mengalami kekerasan dari gurunya.
‘’Kejadiannya 21 Juni 2023, di sekolah anak saya. Waktu pulang dia memang tidak mau cerita, tapi melihat pipinya merah dan naluri seorang ibu, akhirnya dia menjawab habis ditampar guru IPS,’’ ujar Maslina, yang merupakan ibu dari pelajar dimaksud, dihubungi, Sabtu (8/7/2023).
Menurutnya, anaknya tidak pernah neko neko atau berbuat yang tidak tidak, sampai bereaksi berlebihan, seperti saat ia memintanya untuk menceritakan sebab musabab dugaan penamparan tersebut terjadi.
‘’Anak saya tidak mau cerita, tapi dia bilang ditampar gurunya. Sampai lebam juga kondisi wajahnya waktu itu. Itulah yang membuat saya tidak terima,’’ tegasnya.
Maslina, kemudian meminta pihak sekolah menjelaskan duduk perkaranya, dan menyatakan keberatan atas apa yang menimpa anaknya.
Selanjutnya, pada 23 Juni 2023, pihak sekolah berupaya menempuh jalan mediasi yang disaksikan oleh Kepala Desa setempat.
Namun, pihak keluarga bersikukuh agar oknum guru yang menampar anaknya dimutasi dari sekolah tersebut.
‘’Saya tidak mau damai sebelum guru yang pukul anak saya dipindah. Anak saya tidak mau masuk sekolah selama ada guru yang pukul dia,’’ kata Maslina.
Terpisah, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Sebatik Tengah, Usman, membenarkan proses mediasi antara pihak sekolah dan keluarga pelajar yang diduga menjadi korban pemukulan oknum guru IPS bernama Y, mengalami kebuntuan
‘’Kita sudah mediasi, tapi pihak keluarga tidak menerima itu,’’ jawabnya, melalui sambungan telepon.
Lanjut Usman, kasus ini sedang tahap investigasi dan kalrifikasi. Langkah tersebut, dimaksudkan agar perkaranya terang benderang dan tindak lanjut yang diambil, menjadi solusi terbaik.
Pihak UPTD harus memperjelas permasalahan dari kedua belah pihak. Apa yang melatarbelakangi tindak pemukulan dan dampak psikologi terhadap anak, sejauh mana.
Termasuk apa jenis sanksi yang diberikan terhadap Y, dan bagaimana menindaklanjuti persoalan si anak yang dikatakan mogok sekolah, pasca peristiwa tersebut.
‘’Permintaan mutasi sebenarnya sudah diakomodir. Cuman butuh proses. Pemberian teguran ada aturan yang harus dijalankan, jangan langsung tanpa tahu sejauh mana kesalahan. Sehingga, ketika nanti jalan ceritanya tidak sesuai yang diceritakan orang, setelah itu diberikan hukuman tidak setimpal kan malah tidak etis,’’ jelasnya.
Oleh karenanya, kasus ini harus ditinjau dan dirapatkan dengan banyak pihak, karena tuntutan mutasi pihak keluarga korban, akan berdampak pada kinerja Dinas Pendidikan dan juga kekurangan guru pada sekolah dimaksud.
‘’Masih investigasi, masih proses, belum ada keputusan yang mengarah jenis hukuman. Begitu juga terkait masalah si anak tidak mau sekolah, kita perlu tahu motivasinya apa. Apakah takut dipukul atau karena hal lain. Kita masih akan perjelas semua,’’ kata Usman. (Dzulviqor)