Site icon Kabar Nunukan

Tradisi Unik Suku Tidung di Nunukan, Saat Menyambut Ramadan

NUNUKAN – Etnis Tidung di Nunukan, Kalimantan Utara, memiliki beragam tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadan.

Koordinator suku Tidung, Kabupaten Nunukan, H. Sura’i menuturkan, tradisi leluhur dimaksud lazim disebut “sambut bulan”.

“Warisan budaya turun temurun ini, sangat kuat mengikat khususnya bagi warga suku Tidung, jika tidak diilakukan, ada istilah pantang larang, yang diartikan dengan tidak menghormati nasab atau silsilah leluhur” tutur Sura’i, Senin (11/3/2024).

Berikut ini tradisi masyarakat Tidung di Nunukan dalam menyambut bulan Ramadan.

1. Manjalikur.

Sura’i mengatakan, tradisi Manjalikur biasanya dilakukan mulai dari pertengahan bulan Syaban penanggalan hijriah.

Dalam bahasa Tidung, Manjalikur dimaknai bergembira atau bersuka cita karena dipertemukan dengan bulan mulia dan istimewa.

Saat Manjalikur, warga Tidung melakukan arwahan yaitu membaca Tahlil bergiliran dari rumah ke rumah. Lazimnya dimulai dari rumah imam, lalu berpindah ke rumah warga suku Tidung lainnya.

‘’Ada hidangan yang wajib tersedia. Ketan, inti kelapa (kelapa parut) yang dicampur gula merah, dan telur,’’ jelas Sura’i.

Hidangan wajib tersebut ternyata memiliki filosifi cukup kental di adat istiadat Tidung. Ketan yang bertekstur melekat, menggambarkan persatuan Suku Tidung, dimana mereka selalu hidup berkelompok, dan sangat menjaga kebersamaan.

Sementara kelapa yang telah diparut dan dilumuri gula merah, diartikan sebagai silaturahmi antar sesama. Hubungan persaudaraan harus manis dan lezat, sehingga tidak ada iri, dengki dan saling menyakiti.

Sedangkan telur, melambangkan awal mula kehidupan. Semua makhluk diciptakan dari sumber yang sama. Sehingga siapa pun dia, setinggi dan sahabat apapun kedudukannya di dunia, tetap ada tangan yang menggerakkan, dan takdir yang mampu mengangkat serta menjatuhkannya.

‘’Maka kita semua wajib ingat pencipta, sang khaliq, Allah Subhanahu Wata’ala. Caranya adalah perbaiki hubunganmu dengan manusia, maka hubungan dengan sang pencipta tentu akan baik juga,’’ jelas Sura’i.

2. Magong.

Tradisi Magong, dipraktikkan pada malam 1 Ramadan. Suku Tidung menyebut Magong yang memiliki arti bertenang dan bertafakkur, merenungi dosa dan muhasabah diri/instropeksi.

Lanjut Sura’i, zaman dulu, warga Tidung akan membuat lampu pelita dari bahan bambu bettung dengan bentuk huruf ‘T’.

Pelita dari bambu tersebut, dipasang di gerbang desa, di sepanjang jalan menuju surau, musala, dan masjid.

‘’Selain menjadi penerang jalan kita menuju tempat ibadah, cahaya pelita yang terang juga adalah sifat Tuhan. Kita menyambut bulan yang penuh ampunan dan cahaya, dari sang pemilik cahaya yang maha pengampun dan pengasih,’’ imbuhnya.

3. Leduman dan Terabangan (Hadrah).

Dahulu anak-anak suku Tidung, kerap mengisi bulan Ramadan dengan bermain leduman dan terabangan.

Terabangan (hadrah) kerap dimainkan secara berkelompok sambil melantunkan shalawat Nabi.

Sementara leduman, merupakan permainan tradisional anak suku Tidung, yang dibuat dari bahan bambu yang dilubangi permukaan batangnya, lalu diisi minyak tanah sebagai bahan bakarnya.

‘’Bunyi bunyian, baik itu terabangan dengan lantunan shalawat Nabi, maupun leduman, melengkapi arti ‘Sambut Bulan’ yang dilakukan Suku Tidung,’’ kata Sura’i.

Budaya yang tergerus peradaban

Salah satu tokoh Suku Tidung di Nunukan, Arba’in, mengatakan, rangkaian adat istiadat Tidung ‘Sambut Bulan’, mungkin terdengar sederhana.

Namun demikian tidak ada budaya leluhur yang bernilai biasa-biasa saja.

Sayangnya, generasi Tidung sekarang, sangat jarang yang mengerti atau mau mempelajari warisan tak benda dari nenek moyangnya, sehingga kerap terjadi pergeseran budaya dan rangkaian prosesi adat tersebut terkesan tidak menarik.

‘’Saat ini harus diakui anak anak kita jarang yang paham budaya aslinya. Butuh sebuah inovasi yang menguatkan identitas suku Tidung, dan dibanggakan generasi kami,’’ ujar Arba’in.

Sejauh ini, sudah sangat jarang ada warga suku Tidung memasang pelita di jalan jalan, karena sudah banyak lampu. Namun Arba’in mengaku bersyukur, masih ada pedesaan di pedalaman Nunukan yang menjaga tradisi tersebut.

Selain itu, di Kabupaten Nunukan, masih cukup banyak bambu betung. Hanya saja, anak anak suku Tidung, seakan tidak lagi tertarik dengan perang leduman, seperti yang sering dilakukan zaman dulu.

‘’Apalagi yang tahu do’a yang dibaca saat arwahan. Yang tahu kan generasi tua saja. Prosesinya apa saja, hidangannya apa, tujuan dan maknanya. Ini menjadi keprihatinan kami yang tua tua,’’ kata dia.

Desa Adat

Arba’in menegaskan, tidak ada yang rela adat istiadat dan budayanya dilupakan begitu saja. Bagaimanapun peradaban butuh catatan sejarah dan saksi hidup yang akan terus terkenang sepanjang masa.

Di masa ia kecil, kata Arba’in, Bulan Ramadan selalu dinanti dan memiliki kenangan paling menyenangkan. Terutama saat ramai-ramai mengambil bambu, untuk dibuat pelita.

Suasana bergotong royong memasang pelita sepanjang jalan, dan perang leduman merupakan kenangan yang begitu dirindukan saat Ramadan datang. ‘’Butuh imajinasi dan inovasi untuk menghidupkan kembali tradisi Tidung untuk anak sekarang yang terjajah teknologi gadget,’’ kata Arba’in.

Untuk melestarikan warisan leluhur, lanjutnya, para tetua adat juga berkeinginan untuk membuat Desa Budaya. Saat ini, Suku Tidung Nunukan sudah memiliki baloi, (rumah adat Suku Tidung,) yang dibangun di Desa Binusan.

Di Desa Binusan, masih banyak bermukim suku Tidung, dan diharapkan bisa ditetapkan Pemerintah Daerah sebagai Desa Adat.

Dengan adanya Desa Adat, seluruh peradaban Suku Tidung, akan kembali dihidupkan, dan ditanamkan secara mengakar kepada generasi Tidung sekarang.

‘’Tantangannya tidak ringan. Kita tahu, suku Tidung banyak yang kawin dengan suku lain, bertetangga dengan suku lain. Tapi yang namanya budaya, adat istiadat, tetap harus lestari sampai kapan pun,’’ kata Arba’in. (Dzulviqor)

Exit mobile version