NUNUKAN – Dualisme pemahaman antara Dayak Agabag dan Dayak Tenggalan, menimbulkan isu perpecahan dengan potensi konflik internal.
Ketua Dewan Adat Besar Dayak Agabag Robert Atim menuturkan, saat ini ada adik-kakak, saudara satu mama-satu bapak, keluarga kandung “berbeda suku”.
Mereka terbagi menjadi dua kubu, ada yang pro Endonim (Agabag) ada yang pro Eksonim (Tinggalan).
‘’Tentunya hal ini akan merusak tatanan sosial secara culture (budaya dan adat), sosiologis dan antropologis. Dan sebagai saran, pemerintah harus berhati-hati, jangan sampai karena tekanan oleh pihak tertentu, pemerintah tidak objektif melihat pesoalan ini,’’ ujarnya, pada Senin (27/3/2023) lalu.
Perpecahan yang terjadi, diduga akibat adanya provokasi dari pihak luar yang ingin ikut campur mengatur urusan internal Dayak Agabag.
Padahal, masalah yang tengah memanas tersebut, hanya soal pengabaian fakta tentang Entitas Endonim dan Eksonim yang sudah lazim juga terdapat disuku lain.
Sebagai contoh, Dayak Meratus (endonim) di Kalimantan Selatan, disebut juga Dayak Bukit (eksonim).
Dayak Auheng (endonim) di Mahakam Hulu, Kalimantan Timur, disebut juga sebagai Dayak Penihing (eksonim).
Dayak Tomon (endonim)di Kalimantan Tengah, disebut juga sebagai Dayak Mamak (eksonim). Begitu juga Dayak Tonyoi (endonim) di Kutai Barat, Kalimantan Timur, disebut juga sebagai Dayak Tunjung (eksonim).
‘’Kami Agabag dan Tinggalan, adalah satu tubuh yang tidak mungkin terpisahkan satu sama lainnya,’’ tegasnya. (Dzulviqor)