NUNUKAN – DPRD Nunukan, Kalimantan Utara, menggelar rapat dengar pendapat (hearing), menyoal pembongkaran rumah jabatan bupati, yang terjadi 2012 silam, Senin (20/5/2024).
Hearing tersebutt, menghadirkan sejumlah instansi, antara lain, Inspektorat, Dinas PU, dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
‘’Sejak 2012, Nunukan tidak lagi memiliki rumah dinas Bupati. Rumah dinas sudah dihancurkan, diganti guest house. DPRD berharap Pemda Nunukan bisa membangun kembali rumah jabatan bupatinya,’’ ujar Ketua DPRD Nunukan, Hj Rahma Leppa Hafid, ditemui di ruang kerjanya.
Leppa menjelaskan, kasus pembongkaran rumah jabatan Bupati Nunukan, memang telah bergulir hingga Kejaksaan, di 2012.
Kendati demikian, Jaksa menilai tidak ditemukan adanya perbuatan melanggar hukum, serta tidak ada kerugian Negara, sehingga Kejari Nunukan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
‘’Kenapa selama 12 tahun ini Kabupaten Nunukan tidak punya rujab ? Ada persoalan yang belum klir. Tidak ada yang berani membangun rujab, takut ada yang dipenjara,’’ imbuhnya.
Leppa mengaku heran, karena sampai hari ini, meski fisik bangunan rujab sudah tidak ada, tapi masih terdaftar sebagai aset daerah.
‘Dalam kaidah pembangunan, ketika satu aset dihancurkan, digantikan dengan aset dengan nama atau peruntukan sama. Rujab sudah tidak ada, dihancurkan, tapi masih terdaftar di aset, ini kan aneh,’’ kata dia.
Kasus ini menjadi perhatian masyarakat, dengan masuknya laporan LSM Aliansi Masyarakat Nunukan Peduli Penegakan Hukum pada 2016, yang mendesak Inspektorat untuk melakukan pemeriksaan ulang.
Pada akhirnya, Inspektorat, mengeluarkan laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas dugaan pebongkaran aset pemda Nunukan berupa rumah jabatan Bupati tahun 2012 Nomor : 700/081/LHP-K/XII/2016 Tahun 2016.
‘’Terdapat tujuh point yang dihasilkan dari pemeriksaan tahun 2016. Diantaranya, penghancuran rumah jabatan Bupati tahun 2012 merupakan tindakan melawan hukum, dilakukan tidak sah, dan tidak mengikuti prosedur penghapusan aset sesuai ketentuan,’’ kata Leppa.
‘’Juga terdapat terdapat kerugian keuangan daerah sebesar Rp 1.036.271.000,’’ imbuhnya.
Tidak bermuatan politik
Dibukanya kembali kasus pembongkaran rumah jabatan Bupati Nunukan, yang pada saat itu dijabat oleh Drs. H. Basri, memunculkan dugaan tendensi politik.
Apalagi menjelang Pilkada 2024, eks Bupati Nunukan, Basri, disebut-sebut sebaga salah satu kandidat bakal calon Bupati yang akan kembali berkontestasi.
‘’Temuan Inspektorat itu 2016. DPRD Nunukan sudah mencoba mengangkat isu ini pada 2018, kami pressure di 2019 sampai terhenti di 2020 karena covid-19 saat itu. Kita kembali pertanyakan 2022, belum ada jawaban, sampai pada 2023, Pemkab Nunukan menjawab tidak bisa membangun rumah jabatan Bupati, selama belum selesai kasus hukum masalah pembongkaran rujab tahun 2012,’’ jawab Leppa.
Selain itu, dalam LHP Inspektorat, tidak ada penyebutan nama bakal calon kontestan Pilkada 2024.
‘’Tidak ada tendensi politik karena ini sudah bergulir 2016. Salah ketika orang berpendapat tendensi politiknya ada, sehingga diangkat lagi 2024. Ini murni keinginan DPRD. Bupati harus punya rumah jabatan, entah siapapun nanti Bupatinya,’’ tegasnya.
Bentuk Pansus
Menurut Leppa, rumah jabatan Bupati merupakan salah satu ikon daerah. Masyarakat Nunukan harus tahu dimana mereka harus mengadu pada Bupatinya.
Tidak seperti sekarang, fisik bangunan rumah jabatan bupati tidak ada, berganti dengan guest house, sementara namanya masih tercatat dalam aset BMD (Bangunan Milik Daerah).
‘’Jadi LHP Inspektorat ini menjadi sebuah bukti baru/novum yang bisa digunakan membuka kasus lama,’’ katanya lagi.
DPRD juga sudah merencanakan membuat Panitia Khusus (Pansus) untuk merumuskan kebijakan dan akses mendapat jalan agar Nunukan memiliki rumah jabatan Bupati.
Terdapat 13 nama ASN, termasuk kontraktor kegiatan, yang akan dipanggil untuk dimintai keterangan terkait kronologis pembongkaran rumah jabatan.
Mereka adalah, AK, DJ, HM, SH, MS, SD, SJ, ES, INA, BL, MI, MA, SS.
Leppa juga mengatakan, tidak menutup kemungkinan, hasil Pansus, akan menjadi rekomendasi DPRD Nunukan untuk selanjutnya diserahkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH).
‘’Jadi kasus ini menjadi temuan auditor Negara. Inspektorat sudah meneruskan ke BPK. Sementara DPRD membuat Pansus untuk meminta penjelasan kepada orang orang yang terlibat, yang sebagian sudah meninggal dunia. Kita hanya meminta penjelasan, bukan memeriksa karena itu bukan kapasitas kami,’’ tegasnya.
Respons Pemkab Nunukan
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Nunukan Sirajuddin, tidak membantah sampai hari ini, Rujab masih terdaftar sebagai BMD, meski fisik bangunannya telah dihancurkan sejak 2012, dan diganti dengan guest house, yang dibangun pada 2014.
Ia juga membenarkan ada anggaran pemeliharaan untuk item rujab. Hanya saja, kata dia, perlu diketahui, di area berdirinya rujab/guest house, terdapat sejumlah bangunan pendukung lain.
‘’Jadi penganggaran tidak mesti pada induk bangunannya. Ada bangunan lain di lokasi tersebut, yang tentunya butuh pemeliharaan dan perawatan,’’ kata dia.
Sirajuddin juga membenarkan, membangun rujab, dalam kondisi areal yang saat ini dianggap masih berperkara hukum, bukan perkara sepele.
Termasuk juga merubah status guest house menjadi rujab, butuh kajian komprehensif, melibatkan eksekutif, legislatif dan pihak pihak yang bisa memberikan advis.
‘’Jadi selama kasusnya belum selesai, Nunukan tidak bisa memiliki rujab. Kita masih akan lakukan kajian, bagaimana agar rujab bisa dibangun,’’ tutupnya. (Dzulviqor)