Site icon Kabar Nunukan

Revisi Perda Pemberdayaan Hukum Adat Rawan Konflik Internal, Kaum Intelek Dayak Agabag Datangi DPRD Nunukan

NUNUKAN – Wacana revisi Perda Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, masih menuai kontroversi.

Agenda inipun kembali memantik protes dari suku Dayak Agabag. Mereka juga mendatangi DPRD Nunukan, pada Senin (27/3/2023) lalu.

Para tokoh Dayak Agabag, meminta Pemda dan DPRD Nunukan mempertimbangkan revisi Perda dimaksud.

‘’Kesatuan masyarakat hukum adat Dayak Agabag selama ini berpandangan bahwa entitas endonim (nama warisan leluhur) adalah Agabag. Namun oleh pihak luar sering menyebut/memanggil Tinggalan. Ini terkait endonim dan eksonim yang kurang dipahami saudara kita Tinggalan,’’ ujar Ketua Dewan Adat Dayak Agabag, Robert Atim, Senin (27/3/2023).

Robert menegaskan, pada saat kajian, perumusan, pembahasan dan penetapan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Nunukan, secara de facto dan de jure belum ada kelembagan adat Tinggalan pada masa itu.

Eksistensi kelembagaan adat yang menjadi rujukan, adalah SK Bupati Nunukan Nomor 188.45/183/I/2017 hingga 2018, kemudian dilanjutkan SK Kepala Dinas PMD 2019-2022 Nomor: 188.45/239/II/2018 , tentang Pemberian Tunjangan Kesejahteraan Kepala Lembaga Adat Besar dan Adat Kecil Dalam Wilayah Kabupaten Nunukan.

‘’Akibat dari ketidakpahaman terhadap entitas Endonim dan Eksonim, dan pengaruh provokasi pihak luar, kemudian berakibat terhadap perpecahan didalam masyarakat,’’ imbuh Robert.

Sebelumnya, Perda 16 tahun 2018 sempat memicu protes suku Dayak Tenggalan yang mendatangi DPRD Nunukan pada Senin (6/3/2023).

Suku Dayak Tenggalan, membentangkan spanduk dengan logo Dayak Tenggalan, bertuliskan kode yang menjadi legalitas suku Dayak Tenggalan dengan nomor 60283, dan kode bahasa 03050.

Sejumlah diorama foto yang menggambarkan sejarah panjang Dayak Tenggalan, juga ditampilkan dalam spanduk tersebut.

Orator Demo saat itu, Faris menegaskan, sejumlah hikayat turun temurun di tanah Borneo, semua mengenal istilah ‘Ulun Tenggalan’ yang biasa diucapkan leluluhur Dayak, yang berarti ‘Kami adalah Dayak Tenggalan’.

Tapi anehnya, kata dia, Perda Nomor 6 Tahun 2018 tidak mengakomodir atau tidak mengakui eksistensi Dayak Tenggalan.

Imbasnya, Suku Dayak Tenggalan memberi waktu dua pekan untuk memasukkan nama Tenggalan dalam Perda tersebut. (Dzulviqor)

Exit mobile version