NUNUKAN – Puluhan Masyarakat Adat Dayak Tenggalan, mendatangi kantor DPRD Nunukan, memprotes nihilnya nama suku Tenggalan di Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat, Rabu (16/11/2022).
Dengan mengenakan pakaian adat yang terbuat dari kulit kayu bergambar tameng dan bunga raya, puluhan masyarakat membentangkan spanduk bertuliskan ‘meminta ketegasan Pemerintah Kabupaten Nunukan, untuk mengakui keberadaan suku Dayak Tenggalan, agar segera diperdakan’.
Spanduk dengan logo Dayak Tenggalan tersebut, juga mencantumkan kode suku 60283, dan kode bahasa 03050, dengan diorama foto yang menggambarkan sejarah panjang Dayak Tenggalan.
‘’Para tetua adat dan pengurus Lembaga Adat, menginginkan adanya revisi dan evaluasi bagi Perda Nomor 16 Tahun 2018. Atau agar Perda dimaksud, dicabut saja, ketimbang menimbulkan protes atau gejolak bagi Masyarakat Hukum Adat,’’ujar Ketua Lembaga Adat Dayak Tenggalan, Provinsi Kaltara, Yakung Balisi.
Yakung menegaskan, Dayak Tenggalan menginginkan perlakuan yang sama dengan etnis Dayak lain.
Tenggalan memiliki sejarah panjang dan keberadaan mereka merupakan pribumi asli Kalimantan yang tidak bisa terbantahkan.
Sejumlah hikayat turun temurun di tanah Borneo, semua mengenal istilah ‘Ulun Tenggalan’ yang biasa diucapkan leluluhur Dayak, yang berarti ‘Kami adalah Dayak Tenggalan’.
‘’Meskipun setiap logat dan bahasa Dayak sering diucapkan berbeda, ada Tengaran, Tegalan, Tinggalan, kami tetap Tenggalan. Keberadaan kami tidak bisa ditiadakan, apalagi kami juga ikut berjuang mengusir Belanda dari NKRI,’’ tegasnya.
Yakung juga menantang siapapun untuk beradu bukti otentik yang bersejarah, yang semua bukti akan menunjukkan betapa tuanya keberadaan mereka di tanah Borneo Kalimantan.
‘’Saya lahir tahun 1954, artinya sudah 68 tahun usia, saya masih selalu ingat orang tua saya menegaskan bahwa kami adalah suku Tenggalan,’’ lanjutnya.
Ia selalu mengingat kisah perjuangan Raja Tenggalan, Raja Tali, yang dipenjara setelah membunuh Belanda di wilayah yang saat ini disebut sebagai Sebuku, Sembakung, Sembakung Atulai, Lumbis, dan Tulin Onsoi.
Demikian juga tokoh Tenggalan lain, yang semuanya menunjukkan eksistensi Tenggalan di masa lalu.
Perwakilan Masyarakat Adat Tenggalan dari Kabupaten Malinau, Jonathan, mengaku prihatin dengan nasib saudaranya yang seakan sejarahnya hendak dilupakan dan dikucilkan.
‘’Saya keluar rumah menangis mengingat perlakuan yang diderita para saudara kami. Tolong camkan! Kami bukan pendatang, mengapa kami diperlakukan seakan akan pendatang? Kami dayak, satu orang sakit, semuanya ikut sakit,’’ katanya.
Demikian juga Kepala Adat Besar Tenggalan Kabupaten Nunukan, Donal, ia mempertanyakan sistem kajian Perda yang tidak mencantumkan nama Tenggalan di antara lima nama Dayak lainnya.
Kekecewaan ini semakin menjadi, terlebih Pemkab Nunukan, bahkan menjadikan salah satu lambang adat Tenggalan dalam seni batik yang terdaftar dalam Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), yaitu batik Lulantatibu.
Yang merupakan lambang persatuan Dayak di Nunukan, yaitu, Lundayeh, Tagalan, Tahol, Tidung dan Bulungan.
‘’Kami semua ingin agar Perda dievaluasi, dikaji ulang. Kalau bisa direvisi dan memasukkan nama Tenggalan di dalamnya. Kalau tidak, sebaiknya dicabut saja. Kami akan mengawal permintaan kami, jika sampai tahun depan belum ada kejelasan, kami akan melaksanakan ritual tertinggi dalam hukum adat Dayak. Kami akan bawa anjing dari rumah, dan menyembelihnya di gedung DPRD Nunukan,’’ kata Donal. (Dzulviqor)